Page 241 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 241
desa lain di Kabupaten Kendal tingkat kemiskinan beriringan
dengan jumlah buruh tani yang juga tinggi. Namun beberapa
data dan dikuatkan dengan hasil pengamatan serta wawancara,
menunjukkan bahwa pekerjaan sebagai buruh tani saja sangat
terbatas di dalam desa.
Kesempatan kerja bidang pertanian (on farm) saja, ter-
masuk buruh tani, ternyata amatlah terbatas di Trisobo. Hal
ini juga menunjukkan bahwa kondisi ketimpangan pengu-
asaan lahan bersifat vertikal, yakni bukan antara petani ber-
tanah luas dengan para buruh taninya, melainkan antara
masyarakat dengan perkebunan skala besar. Masyarakat tidak
memiliki asset dan juga acces atas tanah. Hal ini juga menye-
babkan tingkat perantauan cukup tinggi, demikian pula warga
yang bekerja sebagai buruh pabrik di kota-kota terdekat.
Pada tahun 1998, saat Indonesia mengalami krisis
ekonomi yang hebat, para perantau dari Trisobo kembali ke
desa, khususnya dari Jakarta. Saat kembali ke desa, mereka
memanfaatkan lahan PT KAL yang akan habis masa HGU-
nya untuk digarap dan ditanami singkong, jagung dan pisang.
Kondisi tanah di Trisobo didominasi lahan kering sehingga
menyebabkan tidak banyak tanaman yang bisa diusahakan
di tanah garapan. Petani penggarap yang menggunakan tanah
Perhutani maupun PTPN menanam singkong, pisang dan
jagung dengan sistem tumpang sari. Masa panen singkong
bisa mencapai hingga 8 bulan, sedangkan jagung akan panen
satu tahun 3 kali jika musim mendukung (curah hujan teratur,
sesuai dengan prediksi). Sambil menunggu hasil panen yang
cukup panjang, petani biasanya menanam pisang yang biasa
dipanen setiap minggunya. Penjualan pisang ini sebagai
tambahan menopang kebutuhan sehari-hari.
Selain menanam tanaman pangan jangka pendek,
masyarakat juga menanam tanaman kayu pada tanah garapan
PT. KAL yang telah direklaiming, yaitu sengon atau yang
biasa dikenal dengan nama jengjeng (nama lokal). Tanaman
227