Page 81 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 81
kasus konflik kehutanan di areal seluas 274.861,2040 ha
(Maharani:2001). Petani-petani tak bertanah dan petani
gurem di desa hutan yang terhimpit oleh situasi seperti yang
dijelaskan tadi, membuat mereka harus mengeksploitasi diri
sendiri, bekerja di kota-kota dengan upah terlalu murah.
Untuk kasus Kajarkajar, pada tahun 1990–2000 tercatat
sebanyak 30% orang usia produktif setiap tahunnya berangkat
ke kota-kota di Pulau Jawa (Jakarta, Semarang, Surabaya)
bahkan ke Sulawesi dan Sumatra, hanya untuk bekerja dengan
upah lebih rendah dari Rp 650.000/bulan. 11
Sebagian dari mereka yang “tertahan” di desa, tetap
melakukan penggarapan lahan-lahan di pinggir kampung yang
dianggap sebagai milik Perum Perhutani. Di desa Sindangasih,
khususnya kampung Kajarkajar, petani sekitar hutan meng-
garap tanah yang dianggap milik Perhutani ini sejak tahun
1950-an. Petani Sindangasih harus membayar upeti setiap
panen pada petugas Perhutani yang datang menagih, atau kalau
tidak mau membayar, petani akan dikriminalisasi dengan
tuduhan perambahan liar. Pemungutan upeti ini berhenti
ketika petani Kajarkajar bergabung dalam Serikat Petani
Pasundan (SPP). Tetapi praktek kriminalisasi dalam berbagai
topik lain atas petani tetap berlanjut hingga sekarang. Semen-
tara, di luar wilayah kerja SPP, pemungutan upeti terus ber-
langsung hingga sekarang.
Di bawah ini kami tampilkan contoh analisis usaha tani
sebuah keluarga di Sindangasih yang menjadi peserta PHBM
tahun 2007, bagaimana jauhnya jarak antara konsep yang
disusun (community based) dengan kejadian dan fakta di
lapangan.
11 Hasil wawancara mendalam dengan AT dan AD dan tanggal 9
september 2009.
67