Page 83 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 83
Responden di atas adalah petani gurem yang dipekerja-
kan Perhutani sebagai penanam pohon dalam proyek PHBM
dan beberapa program sebelum PHBM. Dilibatkannya JK
ini karena dia ikut sebagai penggarap di sawah yang diklaim
sebagai kawasan hutan pada tahun 1987, sejak itu dia mem-
bayar upeti ke Perhutani setiap panen sebanyak 70kg/100
bata. Hingga pada waktu wawancara ini kami lakukan, tidak
sepeserpun upah yang dia terima dari Perhutani sebagai imbal-
an penanaman, tetapi setoran panen selalu dia bayar ke Perhutani.
Dari contoh di atas, dapat dilihat bagaimana terjadinya
proses “pemiskinan” secara sistematis terjadi terhadap petani.
Harga saprotan, biaya produksi pertanian yang tidak bisa di-
kontrol oleh pemerintah, harga gabah yang tidak dijaga oleh
mekanisme yang lazim agar petani sebagai produsen bisa
mengambil untung dari hasil produksinya, serta biaya hidup
yang makin tinggi (dengan naiknya setiap tahun harga
kebutuhan pokok), jika dibandingkan dengan hasil panen
yang sedikit dan itupun diminta sebagiannya oleh “pemilik
lahan”, yaitu Perhutani, sebagai bentuk “sewa” dari petani,
maka akan didapat hasil minus setiap bulannya bagi petani.
Inilah akibat dari pemisahan petani dengan tanah, saprotan,
dan means of production lainnya.
Tidak heran jika kini 2 orang anak perempuan JK
berusia 23 dan 19 tahun yang hanya tamat Sekolah Dasar,
bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita ke Arab Saudi. Sudah
3 tahun anak perempuan JK tidak pernah pulang, dan dalam
3 tahun perantauan itu, hanya 1 kali mengirimkan uang
sebanyak 1 juta rupiah.
Petani PHBM di Sindangasih sebenarnya tidak mene-
rima perlakuan pemungutan hasil padi sawah 70Kg/100 bata
ini, tetapi karena takut dipenjarakan dan takut mereka tidak
boleh lagi menggarap di lahan Perhutani, tidak ada pilihan
lain bagi mereka kecuali harus mau “bekerjasama”.
Lain lagi halnya dengan tanaman kayu, di lapangan
69