Page 61 - Regulasi-Pertanahan-dan-Semangat-Keadilan-Agraria
P. 61
48 Prof. Dr. Maria SW Sumardjono., S.H., MCL., MPA
Gagasan menghadirkan negara untuk melindungi hak-
hak rakyat semestinya didukung dengan peraturan perundang-
undangan yang dalam proses penyusunannya melibatkan
berbagai pihak, satu dan lain hal untuk memperoleh
pandangan yang lebih obyektif dan komprehensif terkait
substansi yang diatur.
CATATAN:
Penyebutan istilah hak komunal (HK) untuk dua
macam penguasaan tanah, yakni oleh masyarakat
hukum adat (MHA) dan masyarakat tertentu,
seyogyanya diklarifikasi. Jika yang dimaksud sebagai
subyek hak atas tanah yang dimiliki bersama (dalam
arti keperdataan) oleh suatu MHA, istilah itu memang
sesuai. Ketika penggunaan istilah “hak komunal”
digunakan untuk kepemilikan tanah bersama
oleh sekelompok masyarakat selain MHA, hal ini
dapat menimbulkan kerancuan. Dalam beberapa
kesempatan, petinggi BPN RI menyampaikan
bahwa telah diberikan sertipikat hak milik komunal
untuk masyarakat suku Tengger (Sindonews, 10
Juli 2015,), yakni masyarakat yang tinggal di Desa
Ngadisari, Ngadas, dan Mojokerto, Kecamatan
Sukapura, Kabupaten Probolinggo. Namun
demikian, mengamati contoh sertipikat tanah yang
dibagikan, ternyata bahwa yang dibagikan kepada
masyarakat itu, adalah sertipikat tanah Hak Milik
(HM) perseorangan. Jelas dalam sertipikat tersebut
disebutkan (1) Hak Milik No. X, Provinsi Jawa Timur,
Kabupaten Probolinggo, Kecamatan Sukapura,
Desa Ngadisari. Daftar Isian No. X tahun 2015; (2)
Sertipikat ini merupakan pendaftaran pertama, dasar
hukum adalah pengakuan hak; (3) ada surat ukur;
(4) ditunjuk atas nama X (nama pemegang hak)
dan diterbitkan pada tanggal 6 Mei 2015. Memang