Page 64 - Regulasi-Pertanahan-dan-Semangat-Keadilan-Agraria
P. 64
Regulasi Pertanahan dan Semangat Keadilan Agraria 51
beralih dan dialihkan, dan dapat dijadikan jaminan utang
dengan dibebani Hak Tanggungan (HT). Subyek HP3 adalah
WNI, badan hukum Indonesia dan masyarakat adat (MA).
Dengan alasan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau–pulau
kecil (P2K) melalui sistem perijinan memiliki keterbatasan
(Kompas, 28 Agustus 2009), maka HP3 diciptakan sebagai
“hak” dan bukan ijin.
Analogi HP3 dengan hak atas tanah menurut rezim UUPA
itu tidak tepat. Hak atas tanah menimbulkan hubungan
kepemilikan/kepunyaan antara subyek hak dan obyeknya yang
memberikan wewenang untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap hak atas tanahnya (mengalihkan, menjadikan hak
atas tanah sebagai jaminan hutang dengan dibebani HT).
Pendaftaran hak atas tanah dimaksudkan untuk memberikan
kepastian hukum terhadap subyek dan obyek hak.
Berbeda dengan hak atas tanah, HP3 adalah ijin untuk
memanfaatkan, dalam hal ini mengusahakan, sumberdaya
perairan pesisir dan P2K. HP3 tidak menciptakan hubungan
kepemilikan tetapi hanya memberikan kewenangan
yang terbatas untuk memanfaatkan obyek atau hasilnya.
Konsekuensinya, HP3 tidak dapat beralih dan dialihkan
dan tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani
HT karena HP3 bukan hak atas tanah. HP3 juga tidak perlu
diterbitkan sertipikatnya. Ternyata, angin surga yang dijanjikan
kepada (calon) investor pun akan mengalami kendala karena
permasalahan mendasar HP3. Apakah kelemahan dalam sistem
perijinan yang ada dengan sendirinya dapat diatasi dengan
menciptakan lembaga hukum HP3 yang bermasalah itu?