Page 107 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 18 FEBRUARI 2020
P. 107
wacana munculnya sejumlah gagasan dalam RUU yang tidak berpihak pada
kesejahteraan pekerja.
Sejauh ini sejumlah kekhawatiran kelompok-kelompok buruh terhadap Omnibus Law
antara lain, wacana penghapusan pengaturan tentang upah minimum, pengurangan
jumlah pesangon, dan dekriminalisasi kejahatan yang dilakukan perusahaan dengan
memindahkannya kedalam wilayah hukum perdata.
Dengan sudut pandang kekerasan struktural, Omnibus Law berpotensi memiliki
fungsi sama dengan buldoser yang menumbangkan pohon-pohon dan
mengeksploitasi hutan dalam jumlah masif, serta menjadi mesin yang merepresi
posisi pekerja dalam hubungan kerja industrial dengan pemilik modal.
Ekses lain dari dampak kekerasan struktural ini (ketidakadilan dan ketimpangan
akses terhadap sumber daya dan kesejahteraan) adalah potensi lahirnya kejahatan-
kejahatan yang bersifat konvensional. Saat struktur sosial tidak memberikan individu
pilihan untuk secara sah memenuhi kebutuhan hidup, maka cara tidak sah akan
menjadi jalan keluar yang terpaksa harus dipilih individu untuk bertahan.
Minim Ruang Partisipasi
Muncul kesan bahwa pemerintah menginginkan agar proses pembahasan dan
pengesahan Omnibus Law berlangsung cepat. Bahkan, perampungan draf RUU itu
menjadi salah satu target dalam 100 hari pertama masa jabatan periode ke-2
Presiden Joko Widodo. Namun proses penyusunan produk hukum yang memiliki
dampak luas ini sepatutnya dilakukan dengan membuka ruang partisipasi selebar
mungkin. Komunikasi politik dengan seluruh pemangku kepentingan harus segera
dilakukan.
Saat esai ini diajukan, belum satu pun situs laman resmi, baik dari lembaga
eksekutif maupun legislatif yang mengumumkan RUU Cipta Kerja beserta naskah
akademiknya kepada publik. Termasuk kantor-kantor kementerian yang para
menterinya mengantarkan langsung draf Omnibus Law itu ke Senayan.
Pada beberapa kalangan beredar dokumen digital naskah akademik RUU Cipta
Karya setebal 2.276 halaman. Namun, pada naskah tersebut tidak terdapat
keterangan tertulis yang jelas bahwa dokumen itu adalah rancangan milik
pemerintah yang diajukan ke DPR RI.
Protes publik yang luas selama proses Revisi UU KPK dan RUU KUHP yang
berlangsung pada akhir tahun 2019 lalu, selain problem substansi, juga dipengaruhi
buruknya komunikasi politik yang dilakukan oleh eksekutif dan parlemen kepada
warga. Harapannya, pemerintah dan DPR RI tidak kembali melakukan kegagalan
komunikasi serupa ketika menyusun Omnibus Law ini. Para pembahas Omnibus Law
harus memperhatikan betul prinsip efisiensi berkeadilan dan prinsip berwawasan
lingkungan yang merupakan basis dalam penyelenggaraan eko nomi nasional
(Pasal33 Ayat 4 UUD 1945). Konstitusi harus menjadi mantra yang bisa mencegah
negara melakukan praktik kekerasan struktural.
Page 106 of 185.