Page 157 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 157
bawa kamu ke orang pintar, yuk?”
“Dukun untuk meramal di mana jasad itu gentayangan?”
sahutku sinis.
“Kamu takut percaya pada dukun?”
Aku terdiam sebab ia mungkin benar. Dan aku tak suka
bahwa aku takut.
“Ayolah! Kita kan tidak harus dikuasai oleh apa yang kita
dengar. Apapun yang dia katakan nanti, itu sematamata data.
Data mentah. Kamu yang mengelolanya.”
Aku masih diam. Sesungguhnya karena dia terdengar benar.
“Ayolah. Kalau kamu takut percaya pada katakata dukun,
itu artinya kamu bukan orang merdeka.”
Dalam hati aku mengumpat, sebab ia benar. Kukagumi
juga betapa tangkas ia merebut kendali silat lidah ini. Tadi aku
yang menuduh dia pengecut. Kini, pertarungan pemanasan
berakhir dengan ketakutanku yang dilucuti.
Hujan luar biasa lebat itu tak berlangsung lama, seolah
hanya tumpah karena tadi tertahan sihir sang pawang. Orang
pintar yang kami kunjungi adalah ibu tua sang juru kunci
mataair desa. Dialah si pawang hujan. Ia tidak kami temukan di
rumahnya, sebuah rumah batu yang cukup baik untuk ukuran
kampung. Rumah itu memelihara kebersahajaan masa lalu
dalam warnawarna alam yang tak mencorong. Inilah yang
disebut asri. Seorang lelaki yang membukakan pintu berkata
bahwa Mbok Manyar sedang di sendang keenam.
Basah masih melengketkan tanah. Parang Jati membawa
aku ke tempat yang telah kuketahui. Yaitu, pancuran tempat
kami biasa mengambil air. Ialah mataair yang di dekatnya lelaki
yang jasadnya kini lenyap itu dulu digigit anjing gila. Lenggang
lenggok Parang Jati seolah menyindirku dengan pertanyaan:
kamu tak tahu kan bahwa lubuk ini bernama Sendang Genep.
1