Page 161 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 161
kurasa lucu, meskipun pada dirinya ada yang begitu tak terduga
yang kupercaya bisa menyerang tibatiba.
Nah, sekarang apa yang kamu ingin tanya, Nak?—katanya
dengan tenang setelah tawalogamkaratnya selesai.
“Kami ingin tahu pendapat Mbok Manyar tentang nasib
Kabur bin Sasus,” jawabku sebelum Parang Jati merumuskan
dengan cara lain. Cara yang kukhawatirkan lebih berbasa
basi. Sekilas kulirik Parang Jati dan kudapati ia baikbaik saja
dengan pertanyaanku.
Ah!—seru Mbok Manyar sambil meludah ke tanah. Dengan
nada asalasalan ia berkata: Biarlah! Kabur bin Sasus itu biar
jadi ikan pelus!
“Artinya, Kabur bin Sasus mati atau hidup… kembali?”
cecarku.
Ia mencibir dan mengomel: Ikan pelus di sini sudah mati.
(Dan kau, anak muda, jangan bertanya ke mana bangkainya.
Sebab semua yang tidak ada bagi kita adalah sudah mati bagi
kita. Meskipun masih hidup. Tafsir ini kucatat kemudian dari
Parang Jati. Tapi, apakah ada dan tak ada itu?)
Mbok Manyar mengajak kami menyadari betapa air telah
keruh dan mulai surut. Ada nada marah dalam suaranya, meski
ia tidak mengeluhkan siapapun. Parang Jati menjelaskan ke
padaku bahwa belakangan ini beberapa sendang desa tak lagi
jernih. Bahkan kolamnya lekas mengering sebelum puncak
kemarau. Itu terjadi semenjak hutanhutan jati di bukit ter
larang ditebangi dan batubatu kapur ditambangi.
Kalau kalian mau mencari Kabur, cari saja di Sendang
Hulu atau mataair ketigabelas, sebelum airnya jadi kering
dan keruh seperti lubuk ini. Suara perempuan itu masih masa
bodoh, seolaholah melecehkan rasa ingin tahu kami.
“Jadi, Mbok tidak tahu apa dia hidup atau mati?”
Ia memicingkan mata kanannya. Kini ia menyorotku
dengan mata kirinya yang ular berbisa. Aku menelan ludah.
1 1