Page 166 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 166
memantulkan balik wajahku sendiri, sehingga barangsiapa
berkehendak niscaya ia melihat motifmotif dan asumsiasum
sinya sendiri. (Barangsiapa degil, degillah dia.) Setelah “pernya
taan cermin”, aku diharap menemukan sendiri jawabnya, atau
mengubah pertanyaanku.
Tidakkah hu adalah pernyataan cermin atas fu?
Tapi aku tidak fasih dengan modus komunikasi begini.
Karena itu Parang Jati adalah juru tafsirku.
Tapi aku belum berani membukakan rahasiaku pada-
nya.
“Kenapa sih dia tak menjawab secara langsung saja? Kalau
tahu bilang tahu, kalau tidak bilang tidak.”
“Bukan karena dia ingin menyembunyikan kenyataan
darimu. Tapi karena apa yang kita anggap sebagai kenyataan
ternyata tidak sesederhana itu. Tidak sederhana, karena ber
gantung dari cara kita menganggapnya.”
Aku menaikkan alis. “Kurang mengerti.”
Parang Jati menghentakkan nafas seperti bersusah atas
ketidakpahamanku.
“Oke.” Ia mencoba mencari contoh. “Sekarang. Kita mau
tahu apakah Kabur bin Sasus memang bangkit dari kubur dan
hidup lagi. Tapi apa artinya itu—hidup lagi? Dalam pikiran
modern, itu berarti bernafas lagi, jantungnya berdenyut lagi,
bisa berjalanjalan dan bercakapcakap lagi setelah ia mati.
Begitu? Kalau ya, terus kenapa?”
“Terus kenapa?! Tentu saja itu keajaiban!”
“Persis. Tapi hanya orang modern atau protomodern yang
heran pada keajaiban. Cuma orang yang tidak percaya pada
keajaiban yang akan heran jika ‘keajaiban’ terjadi.”
Sialan.
Parang Jati: “Kamu merasa heran dan ajaib kalau melihat
tuyul. Tapi orang desa yang percaya pada tuyul, mereka ti
dak heran. Mereka mungkin takut, karena merasa tak lebih
1