Page 169 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 169
Dan hu—demikian Parang Jati menafsirkan padaku—
bukanlah bunyi yang tak mengakar di dalam lubuk bahasa
negeri ini. Seperti digumamkan sang juru kunci mataair: hurip,
huma, huni, hulu, hujung, hutan, hujan. Tidakkah hu mem
bawa suasana sublim dan syahdu? Ia memang tidak konkrit
seperti ma atau pa, yang disebut setiap bocah demi kehangatan
ibu dan ayah, atau demi mengenyangkan perut dengan makan
dan pangan, namun ia menunjuk kepada sebuah kebesaran
yang menaungi kita. Hurip. Huma. Huni. Hutan. Hujan. Kita
ada dalam lingkupnya. Hulu. Hujung. Sesuatu yang tinggi dan
jauh. Ma dan pa adalah bunyi libido. Tapi hu adalah bunyi nan
sublim. Ma dan pa adalah suara tubuh. Hu adalah suara ruh.
Hurip. Huma. Huni. Hutan. Hujan.
Ada yang tersisa dari peristiwa Sajenan itu. Dalam bebe
rapa hari setelahnya, aku mendengar bisikbisik mengenai
hujan yang tercurah sebelum upacara usai. Seorang pawang
yang unggul selalu bisa menahan hujan seperti yang ia janjikan.
Apa artinya itu, hujan yang muntab sebelum waktunya? Mbok
Manyar adalah sang pawang. Seseorang menghembuskan tu
duhan, kekuatan Mbok Manyar sudah berkurang. Ia tak sang
gup lagi menahan hujan seperti yang dibutuhkan. Kemudian
kutahu, yang berpendapat demikian kebanyakan berasal dari
pendukung diamdiam Pemuda Kupukupu. Mereka kurang
menyukai Mbok Manyar karena wanita itu masih berkerabat
dengan Kabur bin Sasus, musuh sang pemuda, dan dianggap
mewakili nilainilai syirik.
Tapi kebanyakan orang berpendapat sebaliknya. Mbok
Manyar geram karena gerombolan Pemuda K merusak upacara.
Wanita itu pun sengaja menghentikan pekerjaannya, sehingga
hujan luap bagai air bah. Ada juga yang percaya bahwa adalah
alam, yaitu rohroh, yang geram karena Sesajen dinodai. Alam
memberontak dari campur tangan manusia dan menampakkan
1