Page 168 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 168
memastikan jalur di depan kita. Kita hanya percaya bahwa
segala sesuatu bisa dipanjat.
Namun aku tetap tak lega. “Lantas, kalau Mbok Manyar
memang tahu, kenapa dia tidak kasih tahu saja apakah Kabur
itu terus mati atau bangkit lagi?”
Parang Jati tertawa karena keras kepalaku yang jujur.
“Kan dia sudah jawab. Katanya, emangnya gue tuhan, apa!”
“Jadi dia tidak tahu!”
“Hmm.” Senyumnya jahil. “Yang dia tahu, pasti kamu juga
tidak bisa bertanya pada Tuhan, yang adalah bukan dia itu.”
Aku melunglaikan tubuh. “Memang. Sialan. Sebetulnya
kita memang tidak punya pilihan untuk bertanya.”
“Apapun yang Mbok Manyar ketahui, dia tak mau diper
alat oleh kamu. Dia menolak tunduk pada kerangka pikirmu.
Karena itu dia selalu mengelak dari paradigma pertanyaan
mu.”
“Oh… dia tak begitu murah hati, rupanya,” aku melemas
kan seluruh tubuh sekarang. “Tapi, sialan!, ngapain kau bawa
aku ke dia tadi!”
Ia nyengir. “Cuma agar kamu seimbang. Kamu terlalu
berat menuduh orang desa goblokgoblok. Tapi, bolehlah
kapankapan kita ke Sendang Hu. Itu terletak persis di mulut
Goa Hu. Sekadar lihat saja. Mbok Manyar anjurkan agar kita
pergi ke sana.”
“Tapi aku tetap saja benar. Dia pintar. Dia tidak nonton
tivi.”
Orang pinter tidak tahan nonton televisi. Aku yakin itu.
Tentu saja ini kalimat kondisional dan partikular sesungguh
nya. Tepatnya, harus ditulis begini: Orang pintar maupun
orang pinter tidak akan tahan nonton “televisi”. Yaitu, televisi
yang isinya sinetron, infotainment, reality show, dunia hantu,
dan dakwah ala murahan.
1