Page 167 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 167

berkuasa  dari  tuyul.  Tapi  bukan  heran.  Sebaliknya,  kamu
                 mungkin saja tidak takut, tapi toh kamu merasa itu ajaib.”
                     Aku  berpikir  sebentar  dan  berdecak  protes.  “Ayolah!
                 C’mon! Masa kamu pikir orang­orang desa itu tidak mengang­
                 gap kebangkitan sebagai sesuatu yang ajaib dan berarti?”
                     “Yah, tentu saja ajaib. Tapi, itu sebab di dalam kepercayaan
                 mereka  kebangkitan  tidaklah  dianggap  wajar  dan  sehari­hari
                 sebagaimana  tuyul,  gendruwo,  dan  siluman  penghuni  Sewu­
                 gunung dan Watugunung. Kebangkitan selalu berarti sesuatu.
                 Kesaktian, kemuliaan, atau keiblisan.”
                     “Nah! Kalau begitu kenapa saya tidak boleh bertanya apa­
                 kah  Mbok  Manyar  tahu  bahwa  si  Kabur  ini  masih  mati  atau
                 sudah bangkit?”
                     “Untuk apa kamu mau tahu?”
                     “Ya… untuk verifikasi apakah Kabur itu sakti, mulia, atau
                 iblis!”
                     “Bagaimana kamu verifikasi bahwa dia sakti, mulia, atau
                 iblis?”
                     Akhirnya  aku  mengangkat  bahu.  Aku  merasa  heran  dan
                 tak  rela  juga  bahwa  aku  tak  bisa  menjawab.  Tapi  memang,
                 seandainya pun Kabur bangkit lagi, bagaimana ya membukti­
                 kan bahwa dia sakti, mulia, atau dia iblis?
                     Parang  Jati  seolah  menjawabku  seraya  merayakan  ke­
                 menangannya. “Itu maksud saya. Kalau kita berpikir pendek,
                 semua kelihatannya jelas. Semakin kita berpikir panjang, se­
                 makin kita tahu bahwa begitu banyak di depan dan di belakang
                 kita  yang  hanya  merupakan  anggapan.  Terlalu  banyak  yang
                 tak bisa kita lihat, sehingga orang modern rasional sekalipun
                 sesungguhnya hanya berpedoman pada anggapan dan keperca­
                 yaan sendiri.”
                     Kali  ini  aku  tak  bisa  menyangkal  kebenaran  ucapannya.
                 Itulah  yang  kualami  dalam  memanjat  tebing.  Kita  tidak  bisa


                                                                        1
   162   163   164   165   166   167   168   169   170   171   172