Page 182 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 182

yang  licin  dan  mengilap  apapun  warnanya.  Ubin  di  teras  itu
               berwarna  marun  dengan  glazur  yang  bening  bagai  genangan
               sirup frambosen. Seluruh dinding luar rumahnya pun ditatahi
               ubin  keramik  berwarna  kombinasi  merah  muda  dan  hijau.
               Dari  jauh,  rumah  itu  tampak  seperti  kue  pengantin  yang
               aneh di atas bukit: kue agar­agar susu rasa stroberi dan pala,
               dengan  sedikit  krim  putih  di  tempat  biasanya  ada  boneka
               pengantin. Jika beliau dan istri berdiri di depan teras, niscaya
               merekalah yang menjadi boneka pengantin yang ganjil. (Maaf,
               tak sepantasnya aku berpikir demikian pada orang yang telah
               memberi  tumpangan.)  Ubin  keramik  itu  tampaknya  berasal
               dari  zaman  yang  lebih  baru.  Mungkin  baru  dua  tiga  tahun
               ini  menggantikan  ubin  teraso  yang  berpori  dan  menyerap
               debu, berwarna hijau berintik atau kelabu, yang masih banyak
               dipakai di rumah­rumah lain di desa itu.
                   Layaknya  orang  desa  baru  terkena  modernisasi,  Bapak
               Pontiman tak bisa lagi melihat keindahan pada warna­warna
               alam, yang umumnya buram dan tidak menyerang mata. Batu,
               bata,  kayu,  seperti  yang  masih  dipelihara  di  rumah  Mbok
               Manyar  nan  apik  sederhana.  Di  luar  rumah,  beliau  senang
               mengenakan  batik  satin  dengan  pulasan  prada  imitasi.  Di
               dalam rumah, beliau suka memakai sarung yang mengandung
               benang warna emas. Jam tangannya Rolex bergelang emas.
                   Pak Pontiman senang kepada pemuda­pemuda terpelajar
               dari kota. Ia senang mendebik pundak kawan bicara—sebuah
               bahasa tubuh yang menempatkan diri sebagai “saudara tua”,
               bahasa tubuh yang banyak ada pada para militer, terutama jika
               mereka berhadapan dengan orang sipil.
                    “Di pundak para pemudalah masa depan bangsa terletak,”
               katanya padaku seperti dalam sebuah pidato 28 Oktober. Aku
               harus  mendengarkan  khotbahnya,  sebab  aku  menumpang  di
               rumah  kue  Hansel  dan  Gretel  yang  rendah­lemak  di  mana
               televisi juga selalu menyalak. “Betul, Dik. Saya tidak basa­basi.


             1 2
   177   178   179   180   181   182   183   184   185   186   187