Page 179 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 179
ke luar lewat jendela yang tadi kubuka. Kedua polisi temanku
telah terbangun oleh keributan ini. Yang seorang berlari ke luar
mengejar si hewan sialan. Sementara itu aku membutuhkan
lima menit sendiri untuk menormalkan detak jantungku. Polisi
yang berada bersamaku terpingkalpingkal sampai temannya
kembali tanpa hewan tadi. Setelah itu ia tidak tertawa lagi.
Kami dihantui pertanyaan, bagaimana monyet itu bisa terlepas
begitu rapi dari rantainya?
Ada satu keherananku yang tak terjawab sampai hari
ini. Yaitu, kenapa begitu banyak rumah polisi di negeri ini
memiliki monyet diikat di pohon atau tiangnya? Kompleks
polisi, pos polisi, bahkan asrama polwan biasa dihiasi monyet
di salah satu atau beberapa pojok halamannya. Aku tak pernah
mendapat penjelasannya. Aku menerimanya sebagai salah satu
tradisi kecil kepolisian saja.
Monyet yang lepas itu adalah satu dari tiga ekor yang
menghiasi pos polisi ini. Dia yang paling mungil dan baru
diberikan orang sebulan lalu. Pagi harinya kami menyadari
bahwa ketiga ekor hewan telah lepas. Semua rantai pengikat
nya utuh, tidak terputus. Seseorang, atau sesuatu, pasti telah
membebaskan mereka tadi malam. Pada malam ketika Jumat
bertemu Kliwon dan membentuk kombinasi yang membuka
kan pintu antara dunia halus dan dunia kasat. Seseorang,
beberapa orang, sekelompok orang, atau hanya “sesuatu” telah
membebaskan mereka.
Kami bertiga termenungmenung. Tapi lebih dari kedua
teman polisiku, padaku monyet itu meninggalkan jejaknya
seperti ia menggenjut ulu hatiku. Dalam perjumpaan ambang
mimpi yang singkat itu, si monyet memberi aku pengalaman
yang memaksa aku untuk meninjau ulang kesimpulanku ten
tang bunyi hu yang sublim. Dalam Hurip. Huma. Huni. Hujan.
Hutan. Dalam lolongan Batu Bernyanyi. Sebab ia menumpah
kan padaku bunyi hu hu yang rendah dan badaniah.
1