Page 176 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 176
Aku bertanya tentang Mbok Manyar. Polisi yang satu
mengangkat bahu, seperti mengatakan bahwa perempuan tak
perlu dihitung dalam peta politik. Tapi polisi yang kedua meng
ambil sikap tengah. “Mbok Manyar itu seorang dukun sejati,”
katanya. “Dukun sejati tidak berpolitik. Lagi pula, seorang
politikus harus bisa berbicara dengan orang banyak. Katakata
Mbok Manyar hanya bisa dimengerti sedikit orang.” Tentang
yang terakhir aku setuju sembilanpuluh derajat—tegak lurus
dengan langit.
Malam itu keduanya mengajak aku menumpang lagi di
tempat mereka. Pos polisi itu terletak agak jauh dari perkam
pungan, di tepi jalan utama yang segera sepi begitu matahari
tenggelam. Truk dan bus jalur Selatan sesekali menderu lam
bat. Di belakangnya adalah perbukitan Sewugunung dengan
satu batu hitam yang menjulang. Watugunung. Di kakinya
terdapat makam yang masih menganga sampai sekarang. Aku
baru tahu dari keduanya malam itu bahwa Kabur bin Sasus
tidak dikubur dengan kain kafan. Anak buah Pemuda Kupu
kupu memaksa agar jenazahnya tidak dibungkus sebagaimana
tata cara biasanya. “Bagus,” ujarku sinis. Sesungguhnya aku
geram dengan perbuatan itu. “Paling tidak dengan demikian
Kabur tidak akan bergentayangan sebagai pocong.”
Kulihat keduanya tersenyum kecut. “Mas Yuda ini kan
beberapa waktu lalu masih berkemah di sana, ya?”
“Ya. Saya sempat sehari lagi kemping sendiri di sana.
Setelah temanteman pulang ke Bandung.”
“Sendiri? Tidak takut?”
Aku terdiam. Ada yang lebih besar di sana yang membuat
aku tidak sempat berpikir tentang halhal yang menakutkan.
Angin laut. Gemuruh ombak sayup. Jika langit tidak berawan,
aku bisa melihat waluku, orion, gubuk penceng. Di bawah rasi
rasi bintang itu kulihat bayangan Batu Bernyanyi. Watugunung.
1