Page 178 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 178
Mereka mungkin ada, tapi mereka tidak relevan bagiku. Aku
memaksudkan sesuatu yang lain. Kemampuanku mendengar
lolongan Sebul adalah karena aku memiliki kepekaan. Dan
kepekaan itu ada karena aku memiliki pengetahuan. Para polisi
dan orang desa di sini tak tahu apaapa tentang lekukliku Batu
Bernyanyi. Watugunung. Mereka tak pernah memanjat hingga
setinggi itu. Mereka tak pernah menyetubuhi gunung batu itu.
Mereka tak mengenal Sebulku. Mereka tak bisa mendengar
lolongannya.
Dalam tidur aku bertanya apakah hu apakah fu. Bunyi
yang sublim itu. Bunyi yang dibawa burung hantu penjaga
bungabunga dan mataair. Mataair yang berbualbual dan
kedalamannya menyimpan peluspelus rahasia, makhluk air
yang menghubungkan orang dengan leluhur mereka di dasar
samudra Selatan. Di kedalaman laut itu, biru gelapnya adalah
kedamaian yang menggentarkan.
Tapi di dalam biru pekat ini aku mendengar bunyi hu hu
yang buruk. Wahai, tak mungkin ia makhluk bermata besar
dengan sepasang sayap berbulu halus. Tak mungkin pula ia
berkawan dengan serigala di puncak gunung yang berpinggang
ramping. Suara ini bukan berasal dari hidung, yang memeliha
ra nafas; melainkan dari perut, yang mencintai rasa kenyang.
Aku merasa mual oleh tekanan pada perutku. Mataku
terbuka dan payah menyesuaikan cahaya. Di wajahku ada
bayangbayang, yang semakin menampakkan rincian. Wujud
kelabu itu memperlihatkan taringnya. Ia menyedu sambil
berayunayun di perutku.
Aku menjengat dan menyemburkan bau terkutuk marah
dan takut. Teriakanku memekakkan telingaku sendiri. Benda
itu terpental dari perutku, menyisakan genjutan di ulu hati.
Monyet!
Monyet kecil itu melompat ke sana ke mari sebelum lari
1