Page 264 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 264

“Pasukan Sultan Agung Mataram Menyerbu Benteng VOC di
               Batavia”. Itulah hari ketika Jati, anak yang suka merenung itu,
               menyadari betapa sejarah diceritakan dari pihak lelaki. Seperti
               Nyi  Manyar  memiliki  peran  di  alam  jagad  alit  mereka  tetapi
               tak pernah memiliki panggung dalam masyarakat. Nyi Manyar,
               sang pawang yang selalu berada di pinggir belakang panggung.
               Sejarah  adalah  panggung  cerita  perang  dan  pembunuhan.
               Seperti  Sangkuriang  dan  Watugunung  membunuh  ayahnya.
               Itu adalah hari ketika Jati tiba­tiba bertanya pada diri sendiri,
               bagaimana seandainya sejarah ditulis demi pihak perempuan.
                   “Coba  kalian pikirkan, bagaimana supaya  drama kita itu
               ada pemeran anak putri,” terdengar suara Pak Pontiman.
                   Guru Pembimbing garuk­garuk kepala. Ia usul agar anak­
               anak putri dilibatkan sebagai prajurit. Tapi ide itu tak disambut
               baik.  Ia  menggigit­gigit  bibir.  Tak  mungkin  mengganti  lakon
               sama sekali mengingat mereka hanya punya satu pekan latih­
               an. Ada yang usul untuk menaruh murid putri dalam adegan
               di  benteng  Belanda.  “Anu,”  kata  murid  jangkung  itu,  “untuk
               menunjukkan kebejatan Belanda, Belanda digambarkan mem­
               permainkan putri­putri Jawa.” Ide ini serta merta ditolak oleh
               Bu Kepala Sekolah. Sungguh tepatlah sikap Bu Kepala Sekolah.
               Jika  anak­anak  itu  bisa  melibatkan  tinja  sungguhan,  kenapa
               yang ini tidak.
                   Akhirnya Jati mengacungkan tangan.
                   “Biar tidak sama sekali mengubah cerita,” katanya, “bagai­
               mana kalau kita tambah adegan Sultan Agung Mataram ber­
               temu  Nyi  Rara  Kidul?  Cerita  ini  juga  terdapat  dalam  Babad
               Tanah Jawi.”
                   Orang­orang  terdiam.  Ada  tersirat  persetujuan  di  wajah
               mereka. Tapi ada semburat kegalauan di mata mereka.


                                          *



            2
   259   260   261   262   263   264   265   266   267   268   269