Page 269 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 269

sosok yang mengatasi identitas menjadi sosok yang terkurung
                 dalam  identitas  nan  banal.  Dari  pertapa­ratu­lelaki­perem­
                 puan­tua­muda menjadi ratu cantik jelita yang akan membang­
                 kitkan asmara raja. Bahkan, ratu yang menyesali keberadaan
                 dirinya sebagai separuh peri separuh manusia.
                     Ketegangan  antara  agama  baru  dan  kepercayaan  purba
                 tampak dalam serat ini. Dikisahkan, Kanjeng Sultan bertakhta
                 di  dua  keraton.  Keraton  Mataram  dan  Keraton  Laut  Selatan.
                 Sebab  Nyi  Rara  adalah  istri  Sultan.  “Nyi  Kidul  Rara  adalah
                 peri. Orang tidak menyukainya sebab ia bukan peri sungguhan
                 karena lahir dari manusia.”
                     “Yang memperanakkannya adalah seorang putra raja yang
                 kasmaran begitu melihat manusia. Putra dan putri sama­sama
                 keluar dari kamanya (kama = hasrat, nafsu, asmara, cinta, be­
                 nih). Atas kehendak Tuhan raganya menyatu, kemudian men­
                 jadi Nyi Kidul.”
                     Dalam serat ini Nyi Rara Kidul mendapat penjelasan baru
                 mengenai  asal­usulnya.  Ingatlah,  di  awal  Babad,  dikisahkan
                 asal­usulnya  sebagai  putri  Pajajaran  yang  memilih  menjadi
                 pertapa ketimbang menerima lamaran raja­raja. Kini, ia adalah
                 benih dari seorang putra raja “yang kasmaran begitu melihat
                 manusia”. Kita sulit mengerti kalimat ini. Ia adalah putra dan
                 putri  yang  “atas  kehendak  Tuhan…  menyatu,  menjadi  Nyi
                 Kidul.”  Kita  juga  sulit  menerima  kontradiksi  dalam  sebuah
                 buku ini.
                     Tapi,  kita  tak  bisa  membaca  kitab  ini  dengan  kacamata
                 modern. Inkonsistensi itu agaknya kompromi terhadap orang­
                 orang “yang tak menyukainya.” Di balik inkonsistensi itu, kita
                 tetap bisa menangkap sesuatu yang konsisten. Yaitu, penekan­
                 an bahwa Sang Ratu mengandung kedua unsur yang membuat
                 keutuhan dunia. Feminin dan maskulin. Meskipun utamanya
                 ia berwujud wanita agung, Sang Ratu adalah perempuan, tetapi
                 ia juga lelaki; putra, tapi juga putri. Ia mengatasi personifikasi.
                 Ia adalah cermin—yaitu refleksi terbalik—dari Semar. Semar,


                                                                        2
   264   265   266   267   268   269   270   271   272   273   274