Page 276 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 276

Di dalam hatinya ada kemarahan yang tak terlalu berben­
               tuk kepada Parang Jati, idolanya, murid yang menyelamatkan
               dia dari keroyokan anak­anak kelas atas, tapi juga yang barang­
               kali adalah dalang di balik serangan tinja di atas panggung, dan
               yang  kini  mengusulkan  agar  mereka  menambah  adegan  per­
               temuan Sultan dan Nyi Rara. Tapi, tanpa adegan tambahan itu
               sesungguhnya ia juga tak bisa berdekat dengan pujaan hati.
                   “Ampunilah Sriti, ya Nyai. Ampunilah Sriti!”
                   Kupu  tak  sadar  bahwa  ia  telah  bersujud  menghadap  ke
               arah  laut.  Tubuhnya  terguncang­guncang  oleh  isak­tangis.
               Rasa  akan  kehilangan  begitu  menakutkan  dia.  Rasa  akan
               ditinggalkan. Rasa itu membuka sesuatu yang ia tahu betul dari
               masa  purba  hidupnya.  Sesuatu  yang  membentuk  kesadaran
               paling awal dirinya. Suasana ditinggalkan.
                   Ia tersedu­sedu.
                   Sebuah tangan menyentuh punggungnya yang menangkup.
                   “Kenapa kamu, Nak?” Suara itu lembut dan laki­laki.
                   Kupu menoleh ke atas dengan terkejut. Dilihatnya penghu­
               lu  desa,  bapak  yang  kusebut  sebagai  Semar.  Atau  Penghulu
               Semar. Yaitu, salah satu tetua desa yang kelak dilancanginya.
               “Kenapa, Tole? Anak lelaki menangis di depan lautan?”
                   Kupu yang putus asa tak punya pilihan untuk menenang­
               kan  diri.  Ia  menceritakan  persoalannya  kepada  Penghulu
               Semar.
                   Lelaki berwajah ramah itu pun tertawa. Ia merangkul Ku­
               pu di sampingnya. “Orang Islam tidak boleh takut selain pada
               Gusti Allah.” Lalu Penghulu Semar mengajak bocah kecil itu ke
               sebuah surau kecil di tepi pantai. Mushola itu aneh, tetapi Kupu
               terlalu  sederhana  untuk  menyadari  keanehannya.  Bangunan
               mungil itu menghadap ke laut Selatan. Tak seperti umumnya
               mesjid  menghadap  ke  arah  kiblat,  yaitu  ke  Barat.  “Nyi  Rara
               Kidul itu boleh kita hormati. Seperti kita menghormati pohon
               beringin keramat. Jangan dikencingi atau dirusak. Tapi tidak


            2
   271   272   273   274   275   276   277   278   279   280   281