Page 283 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 283

Punggungnya  menutupi  bocah  yang  telah  terikat  terlentang.
                 Ia melakukan sesuatu. Nyi Manyar bisa melihat ia mengambil
                 sebilah pisau dari pinggangnya. Rasa cemas membuat perem­
                 puan  itu  melihat  kilat  pada  bilah  besi  nan  terasah.  Ia  tak
                 bisa  berteriak,  sebab  ia  demikian  jauh  dan  suaranya  telah
                 demikian  kasap.  Ia  merasa  akan  jatuh  lemas.  Tetapi  sisi  kiri
                 tubuhnya adalah sesosok zirah. Makhluk logam tak mulia itu
                 mempertahankan  postur  tegaknya.  Kepekaan  timbul  di  balik
                 lindungan  keras  kerak  karat.  Ia  mendengar  anak  muda  itu
                 menjerit.


                                            *


                     “Semalam  aku  mendapat  wangsit,  Jati,”  ujar  Suhubudi
                 dengan mata tua yang gundah.
                     Mereka berada di pundak Watugunung, di dekat batu lebar
                 bagai meja makan para raksasa.
                     “Ya, Rama? Rama biasa menerima bisikan…”
                     Suhubudi termenung.
                     “Pernahkah ramamu ini mengkhianati kamu, Nak?”
                     Jati merasa ada buah maja yang pahit yang harus ia telan.
                 “Tidak pernah, Rama. Tapi ada apa, Rama?”
                     “Kamu  tahu,  kita  ini  bukan  satu­satunya.  Kita  ini  tidak
                 hidup di jagad kasar saja. Ada jagad halus di sekitar kita. Ada
                 Hyang Wisesa yang menjadi sangkan paraning dumadi, asal
                 dan tujuan hidup.”
                     Jati mengiya dalam bahasa krama.
                     Suhubudi meraih kedua tangan anak angkatnya. Diraba­
                 raba  dan  diamat­amatinya  duabelas  jemari  itu.  Wajahnya
                 berduka.
                     “Kamu  adalah  wangsitku  yang  paling  besar.  Daru  yang
                 paling  terang.  Jari­jarimu  ini,  mereka  bukan  tak  bermakna,
                 anakku.” Diangkatnya telapak tangan jejaka kecil itu. “Ketika


                                                                        2 3
   278   279   280   281   282   283   284   285   286   287   288