Page 310 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 310

sosok  yang  membunyikannya.  Kudukku  menegang.  Gong  itu
               begitu  besarkah  sehingga  makhluk  di  sisinya  tampak  begitu
               kecil. Tidak. Aku butuh waktu untuk menyadari dimensi. Gong
               itu memang besar, sekitar satu setengah meter garis tengahnya,
               tergantung pada kuda­kuda yang berukir nagagini. Sosok yang
               memegang pemukul itulah yang demikian kecil.
                   Bahunya setinggi lututku. Lebih kecil daripada tuyul yang
               dulu mengejutkan aku di kuburan. Ia memiliki proporsi tubuh
               yang  normal.  Ia  bukan  orang  kate  berkaki  pendek.  Ia  bukan
               si  kerdil  berkepala  besar  dan  bertangan  pengkar.  Ia  adalah
               spesies manusia mini. Ia manusia berdimensi lain. Pelan­pelan
               aku  ingat,  dialah  yang  berperan  sebagai  anak  tuyul  dalam
               sirkus manusia aneh. Ia tidak buruk rupa seperti ayahnya, tuyul
               nakal  dan  jelek  yang  mengejutkan  aku  di  Watugunung  dulu.
               Refleksku nyaris membuat aku membuka mulut dan bertanya
               pada Parang Jati. Untunglah aku bisa menahan diri sehingga
               pita  suaraku  tak  jadi  bergetar,  bahkan  untuk  terbatuk.  Gong
               itu  adalah  ujian  pertama.  Barangsiapa  mendengarnya  dan
               bertanya, ia segera dipersilakan mengundurkan diri dari jeron.
               Ia tak diterima masuk lagi hingga duabelas bulan berlalu.
                   Di  balik  sebuah  tirai  kulihat  sebuah  wajah  berkelebat
               mengintip. Aku mengenalinya. Si Tuyul berwajah nista itu. Ia
               segera  menyembunyikan  diri.  Ada  yang  keji  pada  matanya.
               Sesuatu yang belum bisa kuterangkan.
                   Aku  seperti  mengalami  dejavu.  Ataukah  aku  teringat  se­
               buah  dongeng  Larung,  di  mana  ada  seorang  lelaki  begitu
               mencintai istrinya yang tak memiliki pita suara sehingga lelaki
               itu memutuskan untuk menghapuskan bahasa lisan. Di tempat
               ini  orang  tak  bicara.  Hanya  anjing  yang  bersuara.  Demikian.
               Maka  di  rumahnya  manusia  hanya  boleh  bertulisan.  Lelaki
               ini adalah pencerminan terbalik Dhestarata­Gendari, raja dan
               permaisuri dari ranah wayang purwa. Dhestarata adalah raja
               yang  buta  sejak  lahir.  Istrinya  bernama  Gendari.  Demi  cinta


            300
   305   306   307   308   309   310   311   312   313   314   315