Page 308 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 308
Mobil tuaku gemetar melewati gapura dengan barisan
bambu yang beberapa waktu sebelumnya hanya kupandangi
dari luar. Parang Jati memintaku parkir di pelataran paling
depan, sebuah lahan yang lebih rendah ketimbang bidang
berikutnya. Kami mendaki tangga menuju sebuah bangunan
terbuka yang lebar. Joglo penyambutan ini didirikan setelah
Suhubudi menetapkan inti rumah sebagai wilayah jeron di
mana manusia tak boleh omong. Ia membangun kompleks baru
untuk menerima para tamu yang tak dianggap bisa memenuhi
syarat bagi jeron. Di sini orang masih boleh berbicara.
Parang Jati meminta kami menunggu sebentar. Aku tahu
aku sedikit gugup. Aku benci menyadari itu. Marja berdecak
kagum atas suasana. Hutan kecil mengelilingi tempat ini.
Kolamkolam dengan tumbuhan air dan gemericik yang mem
beri ketenangan. Ikanikan mas melenggang anggun dalam
beningnya. Unggasunggas besar dan angsa bidadari berkeliar
an bagaikan bebas. Bulubulu utama sayap mereka mestilah
telah dipotong agar mereka tak bisa pergi terlalu jauh.
“Dia ini seorang raja,” bisik Marja.
Parang Jati kembali ke ruangan. Kami melihat dia seperti
putra mahkota.
“Ayo ketemu ayahku.” (Ini pertama kalinya ia menyebut
“ayah” di depanku.) “Dia ada waktu sekarang. Sebentar lagi
akan ada rombongan tamu.”
“Siapa?” tanyaku basabasi, lebih tepat untuk mengeluar
kan energi grogi.
“Rombongan Interfaith, kelompok antaragama. Mereka
biasa ke sini. Tapi kali ini ada yang agak mendesak. Orang
orang Ahmadiyah melaporkan bahwa mulai ada ancaman
kepada mereka.”
“O gitu.” Aku tak tahu apa itu Interfaith. Aku tak tahu apa
itu Ahmadiyah. Aku tak tahu kenapa mereka diancam dan siapa
yang melakukannya. Aku juga tak tertarik. Pertanyaanku tadi
lebih merupakan luapan rasa gugup.
2