Page 309 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 309
Tepat ketika itu kami melihat sebuah bis masuk dan
berhenti di samping Landroverku. Dari orangorang yang
muncul aku tahu mereka datang dari beberapa daerah. Seba
gian besar tampaknya dari Jakarta, kota yang juga telah me
nampung begitu banyak dialek. Merekalah rombongan dari
Interfaith itu. Mereka secara periodik menginap untuk seje
nis retret: mengadakan diskusi, refleksi, maupun meditasi.
Beberapa pemandu rombongan naik ke joglo penyambutan dan
bersapasapaan dengan kami. Salah satunya bernama Lamardi,
orang yang disebut dari kelompok Ahmadiyah yang sedang
diintimidasi itu. Setelah itu aku tahu bahwa kami mendapat
kesempatan bertemu ayah angkat Parang Jati sementara me
reka berbenah di pondokpondok. Sebagian dari mereka, yang
dianggap mampu, akan menempati bungalow Majapahitan di
wilayah jeron. Sebagian akan menginap di rumah limas dan
rumah pelana di wilayah luar.
Aku dan Marja berjalan membuntuti Parang Jati melalui
jalan setapak yang asri menuju inti negeri Suhubudi. Aku
berdebar membayangkan pertemuan dengan tokoh ini, di
mana kita tak boleh berlisan dan harus berpikir dengan sistem
bilangan berbasis duabelas. Sungguh tokoh ini menggugah dan
mengganggu.
Sebuah gapura. Mulut kepada jeron. Gong bergaung ma
gis, menggetarkan langsung jantungku. Juga jantung Marja.
Kelak kutahu gong itu selalu dibunyikan setiap kali ada yang
melangkah masuk. Gaungnya mengubah denyut kami kepada
denyutnya, menciptakan sebuah aliran baru dalam tubuh
kami. Itulah tanda manusia tak boleh bercakapcakap lagi. Aku
dan Marja saling merekatkan tangan. Aku tahu Marja senang
melipatgandakan ketakutan, sementara aku merasa gagah se
tiap kali pacarku ketakutan. Aku merasakan desir petualangan.
Aku menoleh ke arah suara, dan kulihat gong magis itu serta
2