Page 380 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 380
“Barangkali betul, sebagian sisi nenekmoyang kita tidak
bisa membedakan fakta dari fiksi,” kata Parang Jati. “Tapi apa-
kah kamu pikir kita sekarang selalu bisa membedakan fakta
dan fiksi?”
Apa yang ditayangkan televisi kuntilanak itu adalah buk
tinya.
Intinya: jangan sombong. Manusia purba tentu kadang
kadang tak bisa membedakan fakta dan fiksi—seperti kita
juga sekarang. Tapi, bahwa mereka bisa menghitung satu
sampai sepuluh, atau satu sampai selusin, itu bukan datang
dari khayalan belaka. Bukan berarti seluruh kesadaran leluhur
kita senantiasa bagaikan kabut. Kita yang harus berhatihati
untuk tidak serta merta menghakimi. Bahwa ada dalam bahasa,
yang diwariskan nenekmoyang, katakata itu—raksasa, buta,
kurcaci, katai—tidakkah kita harus waspada bahwa nenek
moyang kita bisa saja pernah menyaksikan bangsa tersebut?
Bangsa kurcaci dan raksasa barangkali pernah hidup ber
sama nenekmoyang kita. Ketika mereka punah, mereka men
jelma peri dalam ceritacerita rakyat.
Dan kalian, wahai kaum beragama yang suka melecehkan
takhayul dan dongeng lokal sama seperti kaum modernis, ku
rang isapan jempol apa kitab kalian jika kepadanya dipaksakan
kaca mata rasional? Kurang anakronistik apa tokohtokoh ka
lian jika kepadanya diterapkah tarikh sejarah? Kurang takhayul
apa kisah Taman Firdaus itu?
Demikian Kitab Kejadian menulis:
Pada waktu itu, orang-orang RAKSASA ada di bumi,
ketika anak-anak allah menghampiri anak-anak perempuan
manusia, dan perempuan-perempuan itu melahirkan anak
bagi mereka; inilah orang-orang gagah perkasa di zaman
purbakala.
3 0