Page 525 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 525
kan kakiku ke bagian belakangnya. Aku mengerang dan ber
goyang. Parang Jati tertawatawa. Talitali senar masih meng
hubungkan jatah kami berdua masingmasing. Setiap kali aku
menarik pinggul nan gitar itu, leher jenjang di pelukan Parang
Jati terenggut juga. Ia balas menjambak leher panjang itu
keraskeras. Kami baku tarik semakin kasar, semakin gemas.
Akhirnya kuhimpitkan instrumen itu pada tubuhnya yang
kudorong telentang, dan terus kusetubuhi gitar itu sambil
tertawa dan merintih. Ia terbahak juga. Kami berdua tertawa
beberapa saat lagi. Sampai suatu titik ketika kami mengira,
dengan kacau, bahwa gitar itu adalah Marja.
Kami tidak tertawa lagi. Matanya begitu dekat pada mata
ku. Aku melihat segala yang ada di sana.
Kami tak tahu kapan kami berhenti tertawa. Tapi sesuatu
telah mengalami percepatan untuk bisa dihentikan. Marja
berada di tengah aku dan Parang Jati yang bergelut. Seperti
bilangan gaib itu, di antara satu dan nol. Seperti hawa, yaitu
nafas, di antara aku, si setan, dan sahabatku, si malaikat.
Sebab hanya manusia yang bernafas. Setan dan malaikat tidak
bernafas. Setan dan malaikat bergulat. Dari benih merekalah
manusia menjadi bulat.
Setelah itu, barangkali rasa malu membuat kami terdiam.
Lalu bersikap seolah tak terjadi apaapa. Seperti kesepakatan
alamiah Parang Jati dan aku setelah aku membuat ia mende
ngar persetubuhanku dengan Marja. Di hari pertama aku ber
temu dengan orang yang menjadi sahabatku ini. Dulu.
Tidak. Sesungguhnya, ada yang terbuka setelah perse
tubuhan kami dengan gitar itu. Setelah kami merasa Marja
berada di tengah kami seperti bilangan gaib itu di antara nol
dan satu. Aku telah melampaui pusaran rasa malu dan aku
telah sedia membukakan kerentananku padanya.
“Aku memiliki fantasi yang aneh.”
*
1