Page 520 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 520
masa itu, seorang penyanyipenyair dari kampung bernama
Dylan datang ke New York dan mengamen dari pub ke pub.
Hanya dengan jiwa. Sebab, selain jiwa, ia hanya punya gitar
dan harmonika. Ia bahkan tak punya suara. Tapi seluruh dunia
kemudian mendengar dia. Dia membawa kabar baik. Dia
membebaskan pikiran.
“Sebab, justru karena ia tak punya suara, dan hanya punya
gitar serta harmonika, kita tahu bahwa ia sungguh punya
jiwa,” kata Parang Jati sembari menakjubi begitu bersahajanya
panggung musik di tahun enampuluhan itu. Dalam adegan
dokumenter hitam putih. Tirai lipitlipit di belakang panggung
nan datar. Lampu sorot tunggal atau paling banter kembar. Tak
ada dry ice dan segala macam efek maupun alat derek. Tak ada
robot turun dari langitlangit. Tak ada penari latar. Joan Baez
yang berambut panjang dan tanpa make-up berduet dengan
Bob Dylan yang tampak ringkih tanpa otot. Betapa zaman
pernah sederhana.
“Ya sih,” jawab Marja aleman. “Tapi kalau sekarang orang
tampil begitu, kayaknya jamandulu banget deh…”
Betapa aneh dan menyedihkan bahwa ada kesederhanaan
yang tak bisa diulang.
Tidak bisakah kita mengulang kesederhanaan?
Kesederhanaan tak laku lagi.
Persetan. Maka dari itu marilah kita memanjat di tebing
tebing sunyi saja. Sebab kita tak membutuhkan tepuk tangan.
Apalagi dari orangorang penonton televisi.
Betapa sedih bahwa ada halhal yang tak bisa diciptakan
lagi. Seperti sebuah sajak. Kepada seorang penabuh tamburin,
yang berjalan di sebuah pagi. Bagai seorang nabi, seorang anak
manusia, yang tak punya tempat untuk menaruh kepalanya,
meski ia membawa berita. Dan seorang pemuda yang ingin
berkelana. Mr. Tambourine Man. Wahai, penabuh genderang
yang mengembara. Mainkanlah lagu bagiku.
10