Page 82 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 82
memanjatnya. Begitu saja. Itu tak mengurangi kehormatanmu
sama sekali. Tak mengurangi kejantananmu juga.
Sacred climbing.
Aku membuka mulutku hendak menggugat dia. Ketika
itulah ia bersabda, “Kamu biasa memaku dan mengebor perem
puan di ranjang. Dengan ibundamu, pakailah cara lain.”
Katakata itu menghantuiku. Aku tak menyukainya. Ini
merupakan kekalahanku lagi. Tapi, demi arwah serigala purba,
katakatanya bergaung di kepalaku. Sekarang. Ketika aku telah
bergantung limapuluh meter di atas tanah.
Sebentar lagi adalah bagian yang sulit. Sepuluh meter
di atasku adalah overhang yang lumayan garang, meskipun
setelah itu ada lagi tebing menjorok yang lebih kejam. Di
baliknya terdapat liangliang angin yang dihuni arwah anjing
anjing purba. Ketika aku masih mengenali tebing ini sebagai
Batu Bernyanyi, tonjolan itu adalah bagian hidung sang Indian
tua. Retakan yang kami rayapi adalah luka terbacok pada wajah
nan jantan. Kini, ketika aku telah mengenali gawir yang sama
sebagai Farji Agung, maka tajuk batu ini adalah bagian kelentit
sang garba purba. Sumbing yang padanya kami meniti adalah
luka sesar jejak melahirkan.
Tanganku lembab oleh titiktitik keringat. Celah itu sema
kin sempit untuk bisa disisipi jemari. Sepanjang garis retak,
kami hanya bisa memakai teknik jari menyisip atau kepal mem
bumpat. Aku si pembuka jalan. Oscar di belakangku. Ia menja
di si penambat. Tugas utamanya adalah mengamankan jika aku
jatuh. Karena itu ia harus senantiasa memperhatikan gerak
gerikku untuk mengatur ketegangan tali yang menghubungkan
sabuk kekangku dengan kait delapan pada sabuk kekangnya.
Jika aku perlu maju meninggi, Oscar harus mengulur. Jika
aku rentan bahaya, ia menariktegang tali. Jika aku jatuh, ia
harus menahan. Kemampuan si penambat menahan tentu saja
2