Page 86 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 86
Kawan baruku itu menyodorkan handuk basah untuk
mengelap mukaku sebelum ia menonton lukalukaku dengan
bersemangat.
“Selamat!” katanya.
“Terima kasih.”
“Ya. Selamat! Kamu kalah.”
Aku menatap mata polosnya. Si jancuk ini bicara tentang
hal lain rupanya. Dengan basabasi kuperkenalkan dia pada
gerombolanku, sebab mereka tentulah sudah saling berkenalan
sejak tadi.
“Kali ini Yuda kalah taruhan,” katanya kepada gerombol
anku, yang kenal betul betapa aku suka bertaruh. Rupanya ia
datang khusus untuk mengabarkan bahwa lelaki yang beberapa
hari lalu digigit anjing baru saja meninggal dunia. Ia berdiri
seperti seorang instruktur pengembangan kekayaan pribadi
yang bergaya percaya diri.
“Dan taruhannya adalah… Yuda hanya akan melakukan
clean climbing. Sepanjang sisa hidup.”
Aku tertawa ngakak. Tak ada yang lebih sinting daripada
mengatakan bahwa aku akan menjadi pemanjat suci setelah
baru saja aku hampir membunuh kawanku karena tak mau
melukai tebing. Lihat, betapa aku tampak sebagai pengkhianat
di hadapan gerombolanku. Yudas, demikian dulu si Fulan
menambah bunyi desis di belakang namaku.
Belakangan aku tahu bahwa ketika aku memutuskan untuk
tidak mengebor gantungan manakala dibutuhkan, persis ketika
itulah Parang Jati telah berdiri di kaki tebing, menatap ke atas
tajamtajam. Kelak, sambil bercanda anak itu menerangkan
tentang bukan sulap bukan sihir melainkan telepati. Tahukah
kamu bahwa ada dua titik pengirim dan penangkap kode di
kepala kita. Yang pertama terletak di antara alis. Yang kedua di
perbatasan tengkuk dan kepala. Merekalah antena dan dekoder
bagi pesanpesan rahasia.