Page 89 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 89

tebing seperti kambing­kambing gunung. Tak perlulah domba
                 menjadi  kambing  jika  hanya  untuk  itu  kita  harus  melukai
                 tebing­tebing.
                     Aku merasa ia terlalu keras. Apa salahnya orang yang tak
                 terlalu berbakat ikut memanjat tebing? Bukankah bakat bukan
                 segalanya dan ketrampilan bisa dibangun?
                     Ia  menggeleng.  Bukan  itu  pokok  perkaranya,  ia  berujar.
                 Perkaranya  lebih  besar  daripada  kasus  yang  tampak.  Yaitu,
                 bahwa manusia begitu tamak. Dan bagian dari kerakusan lelaki
                 adalah ingin menaklukan alam, dengan cara memperkosanya.
                 Persis seperti tindakan mereka terhadap perempuan. Mereka
                 memaku, mengebor, memasang segala jerat demi bisa melam­
                 paui tebing. Atau, mereka membeli. Dan jika mereka mencapai
                 puncak itu dengan segala kerusakan yang dibuat, betapa du­
                 ngunya, mereka kira mereka telah berjaya.
                     “Aku tidak pernah memperkosa perempuan!” aku protes.
                 Sebab  aku  memang  tak  pernah  menjebak  dan  memperkosa.
                 Aku  bahkan  tak  pernah  membayar  pelacur.  Persetubuhanku
                 selalu berdasarkan birahi bersama. Aku sungguh merasa hina
                 jika harus memperkosa atau membayar.
                     Lalu di kilat matanya aku melihat gambar itu lagi, apa yang
                 ia  bayangkan  ketika  mendengarkan  percintaanku  dengan  si
                 binal Marja yang memperkuda aku. Yaitu bahwa ia berganti­
                 ganti peran menjadi aku atau Marja. Aku menangkap gambar
                 itu di matanya.
                     Tiba­tiba ia menghardikku. “Saya tidak lagi bicara hal yang
                 khusus!”  Dan  seolah  untuk  mengganti  keterkejutanku,  atau
                 demi  menutup  jendela  matanya  sendiri,  ia  seperti  melompat
                 pokok:
                     “Demokrasi dengan aneh membawa dampak buruk: persa­
                 maan. Yaitu, ideal bahwa semua orang mendapatkan hak yang
                 sama. Semua orang dilahirkan dengan hak yang sama. Tidak,
                 kataku.”  (tiba­tiba  ia  menggunakan  “aku”,  bukan  “saya”).
   84   85   86   87   88   89   90   91   92   93   94