Page 92 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 92
Tapi beludak cerdik itu menggunakannya untuk kepen
tingan argumennya. Sehingga, aku justru tampak berada dalam
persekongkolan dengannya.
“Persis!” katanya. “Kalian adalah gurunya. Guru kencing
berdiri, murid kencing berlari. Hanya guru yang tahu kapan
harus berhenti. Murid tidak pernah tahu batas.
“Jangan dianggap saya datang untuk menghujat peman
jatan artifisial. Tidak satu iota pun akan dihilangkan. Saya
hanya ingin mengatakan bahwa pemanjatan demikian sudah
genap, sudah cukup. Kalian sudah memiliki Citatah, Gunung
Parang, tebing Siung, dan lainlain. Jika ditambah, ia bukan
lagi pemanjatan artifisial melainkan pemanjatan kotor. Seka-
rang saatnya mengasihi alam raya. Sekali lagi, menyetubuhinya
tanpa memaksakan dirimu kepadanya. Memasukinya hanya
jika ia membukakan diri. Membiarkan ia melahap ujungujung
tubuh kita…”
Lagilagi ia melirik padaku.
“Ada dua macam alat. Alat yang memaksa, dan alat yang
dialogis. Alat yang memaksa adalah bor, paku, piton gantung
an, kampak, palu. Alat yang dialogis adalah pengaman sisip,
pengaman pegas, pengaman perangko, tali ambin. Ialah, alat
alat yang menanggapi uluran atau tantangan yang diberikan
alam. Alat yang memaksa datang dari sifat tamak dan kuasa.
Ia sewenangwenang dan sangat tidak sopan terhadap alam.
Ia menimbulkan kerusakan. Ada kalanya tebing melawan
dengan merumpalkan diri. Artinya, alam menolak dengan
menghancurkan diri. Itu adalah kekalahan kedua belah pihak,
alam dan manusia, akibat pemaksaan manusia. Tapi, alat yang
dialogis datang dari sifat satria dan wigati. Yaitu sifatsifat yang
tidak memegahkan diri. Tidak melakukan yang tidak sopan
dan tidak mencari keuntungan diri. Menerima segala sesuatu,
merawat segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.
2