Page 96 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 96
Kata “wigati”, atau “wigata”, nyaris tidak dipakai dalam
bahasa Indonesia. Kecuali dalam namanama orang. Itupun
tidak umum. Kata “satria” hidup dalam bahasa Indonesia.
Tapi, dengan memudarnya cahaya pewayangan (berkat listrik
dan televisi kuntilanak), kata “satria” menjadi kurang berarti.
Satria tidak lagi bermakna sebagai sikap, melainkan sebagai
benda. Ia menjadi kata benda. Seperti satria dalam dongeng
Cinderella dan segala dongeng istana, atau kata “satria” dalam
kompleks kesatrian militer. Kita tidak bisa mengaitkan kata ini
dengan sebuah sikap hidup seharihari. Sama sekali tak bisa
dalam konteks begini. Tapi, dalam khotbah di bukitnya, secara
istimewa Parang Jati kembali menghidupkan “satria” sebagai
sebuah laku. Sebuah kata sifat.
Sesungguhnya, beberapa dekade lalu ketika pewayangan
masih merupakan falsafah, satria adalah sebuah sikap hidup
yang diutamakan. Orang Jawa sangat mengagungkan sifat
sifat satria. Setidaknya dalam ideal hidup, jika tidak bisa dalam
praktik. Dulu, bahkan ketika aku sedang melakoni cerita ini,
aku tak begitu peduli dengan wayang kulit. Apatah ikonografi-
nya. Aku tak peduli kenapa Arjuna digambarkan seperti itu,
Bima seperti anu, Semar begini dan Limbuk begitu. Semakin
lama semakin menarik bagiku cara orang Jawa menatahkan
idealisasi ke dalam ikonografi; cara orang Jawa “mendaging-
kan” sifatsifat itu dalam bentuk wayang kulitnya.
Tentu saja aku senang bahwa penggambaran tubuh satria
sangat menyerupai stilisasi tubuh para pemanjat. Ramping
liat, bukan kekar perkasa. Satria memiliki bahu nan lebar dan
pinggang nan sempit, dan penghubung antara bahu dan ping
gang itu adalah garis lengkung ke dalam, yang menciptakan
dada tidak membusung. Agaknya, pada waktu itu dada cem
bung dianggap lambang sifat congkak sehingga para seniman
Jawa menggunakan bentuk cekung yang membersahajakan
dada. Ini sangat berbeda dengan idealisasi tubuh jantan yang