Page 10 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 10

”Yah,” kata si dukun bayi, ”seperti tiga bayi sebelumnya.”
                    ”Empat anak perempuan, semuanya cantik, seharusnya aku punya
                 tem pat pelacuran sendiri,” kata Dewi Ayu dengan nada jengkel yang
                 sem  purna. ”Katakan padaku, secantik apa si bungsu ini?”
                    Si bayi terbungkus rapat oleh belitan kain dalam gendongan si du-
                 kun bayi, kini mulai menangis dan meronta. Seorang perempuan keluar
                 masuk kamar, mengambil kain-kain kotor penuh darah, mem  buang
                 ari-ari, selama itu si dukun bayi tak menjawab pertanyaan nya, sebab ia
                 tak mungkin mengatakan bayi yang menyerupai ong gokan tai hitam
                 itu sebagai bayi yang cantik. Mencoba mengabaikan pertanyaan itu, ia
                 ber kata, ”Kau perempuan tua, aku tak yakin kau bisa menyusui bayimu.”
                    ”Itu benar. Sudah habis oleh tiga anak sebelumnya.”
                    ”Dan ratusan lelaki.”
                    ”Seratus tujuh puluh dua lelaki. Yang paling tua berumur sembilan
                 puluh dua tahun, yang paling muda berumur dua belas tahun, seminggu
                 setelah disunat. Aku mengingat semuanya dengan baik.”
                    Si bayi kembali menangis. Si dukun bayi berkata bahwa ia harus
                 me   nemukan ibu susu untuk si kecil itu. Jika tak ada, ia harus mencari
                 susu sapi, susu anjing, atau susu tikus sekalipun. Ya, pergilah, kata Dewi
                 Ayu. Gadis kecil yang malang, kata si dukun bayi sambil me mandang
                 wajah si bayi yang menyedihkan. Ia bahkan tak mampu mendeskripsi-
                 kannya, hanya membayangkannya sebagai monster kutuk an neraka.
                 Seluruh tubuh bayi itu hitam legam seperti terbakar hidup-hidup,
                 de  ngan bentuk yang tak menyerupai apa pun. Ia, misal nya, tak begitu
                 yakin bahwa hidung bayi itu adalah hidung, sebab itu lebih menyerupai
                 colokan listrik daripada hidung yang di ke nalnya sejak kecil. Dan mulut-
                 nya mengingatkan orang pada lubang celengan babi, dan telinganya
                 menyerupai gagang panci. Ia yakin tak ada makhluk di dunia yang lebih
                 buruk rupa dari si kecil malang itu, dan seandainya ia Tuhan, tampak-
                 nya ia lebih berharap membunuh bayi itu daripada membiarkannya
                 hidup; dunia akan menjahatinya tanpa ampun.
                    ”Bayi yang malang,” kata si dukun bayi lagi, sebelum pergi men cari
                 seseorang untuk menyusuinya.
                    ”Yah, bayi yang malang,” kata Dewi Ayu sambil menggeliat di atas
                 tempat tidur. ”Segala hal telah kulakukan untuk mencoba membunuh-

                                              3





        Cantik.indd   3                                                    1/19/12   2:33 PM
   5   6   7   8   9   10   11   12   13   14   15