Page 13 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 13

selamatan pada umur tujuh bulan, membiarkannya lahir, meskipun ia
              menolak untuk melihat bayinya. Ia telah melahirkan tiga anak perem-
              puan lain sebelumnya, semuanya cantik seperti bayi-bayi kembar yang
              terlambat dilahirkan satu sama lain; ia telah bosan dengan bayi-bayi
              semacam itu, yang menurutnya seperti boneka-boneka manekin di
              etalase toko, jadi ia tak ingin melihat si bungsu itu, sebab ia yakin ia
              tak akan berbeda dari ketiga kakaknya. Ia salah, tentu saja, dan ia be-
              lum tahu betapa buruk rupanya si bungsu. Bahkan ketika perempuan-
              perempuan tetangga diam-diam berbisik mengatakan bayi tersebut
              seperti hasil persilangan ngawur antara lutung, kodok, dan biawak, ia
              tak menganggap mereka tengah membicarakan bayinya. Juga ketika
              mereka bercerita bahwa tadi malam ajak-ajak melolong di hutan dan
              burung-burung hantu berdatangan, ia sama sekali tak menganggapnya
              sebagai f rasat buruk.
                 Setelah berpakaian, ia kembali berbaring dan segera menyadari
              betapa melelahkannya semua itu: melahirkan empat bayi dan hidup
              lebih dari setengah abad. Dan kemudian ia sampai pada kesadaran
              spiritual yang menyedihkan, bahwa jika bayinya tak mau mati, kenapa
              bukan ibunya yang harus mati, dengan begitu ia tak perlu melihatnya
              tumbuh menjadi seorang gadis. Ia bangkit dan berjalan sempoyongan,
              berdiri di pintu menatap perempuan-perempuan tetangga yang masih
              bergerombol mendesas-desuskan bayinya. Rosinah muncul dari kamar
              mandi, berdiri di samping Dewi Ayu sebab ia tahu bahwa majikannya
              akan mengatakan sesuatu yang harus ia lakukan.
                 ”Belikan aku kain kafan,” kata Dewi Ayu. ”Telah kuberikan empat
              anak perempuan bagi dunia yang terkutuk ini. Saatnya telah tiba ke-
              randa kematianku lewat.”
                 Perempuan-perempuan itu menjerit dan memandang Dewi Ayu
              dengan wajah idiot mereka. Melahirkan seorang bayi buruk rupa adalah
              kebiadaban, dan meninggalkannya begitu saja jauh lebih biadab. Tapi
              mereka tak mengatakannya, hanya membujuk untuk tak berharap mati
              secara konyol. Mereka bercerita tentang orang-orang yang hidup lebih
              dari seratus tahun, dan Dewi Ayu masihlah terlampau muda untuk mati.
                 ”Jika aku hidup sampai seratus tahun,” katanya dengan ketenangan
              intensional, ”maka aku akan melahirkan delapan bayi. Itu terlampau
              banyak.”

                                             6
   8   9   10   11   12   13   14   15   16   17   18