Page 176 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 176

manda menggandeng kembali tangan adiknya, melangkah melanjutkan
                 perjalanan. Ia meninggalkan Kliwon yang untuk kedua kalinya, ambruk
                 dalam demam yang lebih membuatnya menderita.

                 Ketika ia berumur tiga belas tahun, seorang lelaki datang ke rumah
                 mereka dengan permintaan yang aneh, ”Izinkanlah aku mati di sini.”
                 Ibu nya tak bisa menolak permintaan seperti itu, sehingga meng izin-
                 kannya masuk dan menyuguhinya minum. Kliwon tak tahu, dengan
                 cara apa lelaki itu akan mati di rumahnya. Mungkin ia akan mati
                 kela paran, sebab tampaknya ia belum makan selama berhari-hari. Na-
                 mun ketika ibunya mengajak si tamu makan malam, tamu itu makan
                 dengan lahapnya seolah ia sendiri belum sudi untuk mati. Ia memakan
                 segala sesuatu yang disodorkan kepadanya, bahkan tulang ikan asin ia
                 gigit-gigit tak berbekas. Ia habis bersendawa penuh ke puasan ketika ia
                 akhirnya membuka mulut lagi, ”Di mana Kamerad?”
                    ”Mati ditembak Jepang,” jawab ibunya pendek.
                    ”Dan bocah itu,” kata sang tamu, ”anak kalian?”
                    ”Tentu saja,” jawab si ibu lagi sedikit ketus, ”tak mungkin anak babi.”
                    Tamu itu bernama Salim. Meskipun tampak bahwa Mina, ibunya,
                 tak menyukai kedatangan lelaki itu, sang tamu bersikeras untuk tinggal
                 bersama mereka. ”Biar aku tinggal di kamar mandi dan makan bubur
                 dedak ayam, tapi izinkanlah aku mati di sini,” katanya. Kliwon mencoba
                 meyakinkan ibunya, mungkin lebih baik membiarkan lelaki itu mati di
                 rumah daripada di selokan. Akhirnya Salim diberi ruang depan, kamar
                 tamu yang tak seorang pun pernah mempergunakannya, dan Kliwon
                 berjanji akan mengiriminya makan, sampai saatnya ia akan mati.
                    Ia bukan pengembara. Kliwon melihatnya, kulit kakinya lecet-lecet
                 begitu ia membuka sepatu.
                    ”Kau seperti buronan,” kata Kliwon.
                    ”Ya, besok mereka akan datang untuk mengeksekusiku.”
                    ”Apa yang kau rampok?” tanya Kliwon lagi.
                    ”Republik Indonesia.”
                    Percakapan itu menggiring mereka pada satu persahabatan. Salim
                 memberikan topi petnya pada si bocah sambil berkata, ia mem peroleh-
                 nya ketika masih di Rusia, dan menambahkan, semua buruh Rusia

                                             169





        Cantik.indd   169                                                  1/19/12   2:33 PM
   171   172   173   174   175   176   177   178   179   180   181