Page 17 - MAJALAH 197
P. 17
LAPORAN UTAMA
Pembahasan Otsus Harus
Libatkan MRP dan MRPB
ANGGOTA DPD RI dapil Papua Barat Filep Wamafma berharap dalam
pembahasan revisi UU Otsus Papua, pemerintah melibatkan Majelis Rakyat
Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) sebagaimana mekanisme
formal yang berlaku. Menurut Filep, selain pelibatan MRP dan MRPB merupakan
amanat UU Otsus Papua, kedua lembaga tersebut juga merupakan representasi
kultural OAP yang juga bertanggung jawab atas perlindungan hak dan kesejahteraan
masyarakat Papua terutama OAP.
Menurutnya, apabila syarat formal tersebut diabaikan oleh pemerintah pusat tanpa
memperhatikan hak melalui keterlibatan MRP dan MRPB sesuai dengan prosedur formal pengusulan RUU dan
sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang, sehebat apapun undang-undang disahkan UU Otsus tidak akan
pernah mampu terwujud di tanah Papua.
“Bagi saya 20 tahun yang lalu menjadi catatan sejarah kelam dan jika rakyat Papua menjadi apatis terhadap kebijakan otsus
maka yang ada adalah perlawanan rakyat terhadap pemerintah, perlawanan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat dan
apa yang diharapkan tidak tercapai yaitu tujuan bernegara dan cita-
cita kebangsaan tidak akan pernah terwujud,” tegasnya. l tim
Perlu Pendekatan Regulasi
dan Intervensi
PENELITI UNIVERSITAS GADJAH MADA (UGM) Bambang Purwoko mengatakan
Papua memiliki persoalan yang pelik dan khusus. Oleh karena itu perlu pendekatan
baik dari aspek regulasi maupun intervensi yang dilakukan secara khusus terkait
penyempurnaan undang-undang Otsus ini agar dapat menyelesaikaan banyak persoalan
Papua yang pelik dan khusus tersebut. Meski selama pelaksanaan otsus ini banyak membawa
perubahan yang positif yang dirasakan masyarakat Papua, namun masih memiliki beberapa
keterbatasan yang perlu diperbaiki.
Untuk itu tim peneliti UGM memberikan sejumlah langkah strategis yang lebih spesifik untuk
mengatasi permasalahan Papua. Pertama, revisi UU Otsus hendaknya bisa memberikan kesempatan akomodasi terhadap
eksistensi adat sehingga bisa menjadi kerangka regulasi yang adaptif terhadap nilai-nilai lokal. Kedua, UU Otsus mestinya bisa
memberikan peluang adanya reorientasi dari economic growth yang sekarang menjadi salah satu landasan penting dalam
perencanaan pembangunan oleh pemerintah.
Selanjutnya, perlu ada pengembangan praktek pemerintahan berbasis ke-Papua-an diberikan kepada Papua. Hal ini
dikarenakan struktur pemerintahan modern tidak sepenuhnya kompatibel dengan konteks sosial budaya Papua. Berikutnya,
pembangunan di Papua harus melibatkan OAP dengan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar
masyarakat. Selain itu, perlu dilakukan langkah reinstrumentasi dengan membuat lembaga khusus
yang fokus pada akselerasi pembangunan Papua sekaligus melakukan fungsi koordinasi di
tingkat pusat sehingga anggaran-anggaran kementerian bisa tersalurkan secara sinergis
koordinatif. l tim
TH. 2021 EDISI 197 PARLEMENTARIA 17