Page 297 - BUMI TERE LIYE
P. 297
TereLiye “Bumi” 294
”Mungkin kamu harus jongkok, Ra,” Seli mengingatkan lagi ide itu.
Aku melotot. ”Tidak mungkin, Seli.”
”Apa susahnya dicoba?” Seli menatapku serius.
Buku ini menyebalkan sekali. Lihatlah, aku akhirnya mengalah,
jongkok di atas sofa panjang, berusaha membaca buku PR mate-matik aku.
Ali yang sedang tenggelam dengan kamusnya langsung tertawa, memegan gi
perut. Jelas sekali dia hanya mengarang.
Wajahku masam, terlipat, hendak melempar Ali dengan sembaran g
buku, tapi demi melihat wajah Seli yang kecewa berat di sebelahku, aku jadi
batal marah pada Ali. Seperti-nya Seli ingin sekali aku bisa membaca buku
ini, agar kami punya jalan keluar, bisa pulang ke kota kami.
”Maaf, Sel, tidak terjadi apaapa.” Aku mengangkat bahu.
Seli menghela napas perlahan.
Setengah jam lagi berlalu, kali ini aku melakukan apa pun agar buku
itu bisa dibaca—termasuk hal-hal tidak masuk akal seperti memejamkan
mata lantas berseru, ”Muncullah!” atau melotot menatap bukunya,
kemudian membaca mantra, ”Wahai tulisan yang tersembunyi, keluarlah.
Keluarlah!” Aku dan Seli diam sejenak, menunggu apa yang akan terjadi,
tapi tetap saja lengang, tidak terjadi apa-apa. Kami tertawa— menertawakan
kebodohan kami. Hingga kami mengantuk.
”Kalian duluan.” Ali belum mau tidur, masih asyik dengan kamusny a.
Aku dan Seli menaiki anak tangga.
Nyala api di perapian mulai padam.
http://cariinformasi.com

