Page 109 - PDF Compressor
P. 109

Dia biasanya tertawa. ”Norak!”
                  Ini ritual kecil yang gue dan dia lakukan setiap pagi, satu-
                satunya alasan kenapa gue rela bangun pagi-pagi demi meng-
                antre  bubur  ayam  di  penjual  pinggir  jalan  di  dekat  Rasuna
                situ, bertemu dia di parkiran gedung kantor jam 7.30 tepat,
                lantas gue dan dia duduk di dalam mobilnya sarapan bareng
                sambil ngobrol nggak jelas ala gue dan dia, gue selihai mung-
                kin menghindari nama Ruly muncul dalam topik pembicaraan
                kami. Sama sekali bukan karena gue benci sama si Ruly itu,
                dia  sahabat  gue  juga,  tapi  tiga  puluh  menit  setiap  pagi  ini
                adalah satu-satunya waktu yang Keara bisa gue akui jadi milik
                gue, jadi Ruly idolanya dunia akhirat itu silakan hangus ter-
                bakar di neraka sana. Ya walaupun kalau melihat alimnya dia
                dan bejatnya gue, adanya gue yang akan gosong mengais-ngais
                ampun di dasar neraka.                                     107
                  Gue masih inget banget awal ritual nggak penting tapi sela-
                lu  jadi  my  favorite  part  of  any  day  ini.  Yeah,  gue  tahu  cuma
                pecundang  yang  ngomong  bahwa  waktu  terindah  hidupnya
                dalam satu hari cuma duduk berdua makan di dalam mobil
                pagi-pagi  buta.  Ada  jutaan  hal  seksi  lain  yang  bisa  gue  dan
                dia  lakukan  di  situ—lo  juga  nggak  usah  ngajarin  gue—tapi
                dengan Keara, gue hanya bisa pasrah menerima bahwa peran-
                tara kemesraan—semu, lagi—gue dan dia cuma bubur ayam
                murahan itu.
                  Awal ritual itu kira-kira setahun yang lalu, gue sedang sa-
                rapan  bubur  itu  di  meja  gue  waktu  Keara  tiba-tiba  muncul
                dan nyeletuk, ”Sarapan apa sih? Enak banget kayaknya.”
                  Gue menoleh. ”Eh, ngapain lo di lantai gue?”
                  ”Ada rapat sama departemen sebelah,” jawabnya, lalu dengan
                cuek dia mengambil sendok dari tangan gue, ”Gue coba, ya.”
                  Gue cuma bisa bengong waktu Keara dengan nikmat mela-








        Isi-antologi.indd   107                                      7/29/2011   2:15:19 PM
   104   105   106   107   108   109   110   111   112   113   114