Page 46 - PDF Compressor
P. 46
memanggul tas olahraga, rambut dan wajahnya masih terlihat
basah.
”Eh, Rul, baru selesai rapat gue,” aku menoleh dan terse-
nyum padanya. ”Elo dari mana? Lembur lagi?”
”Kali ini nggak,” dia tersenyum balik. ”Gue abis futsal sama
anak-anak Risk. Elo mau ke mana?” dia menunjuk tangan-
ku.
”Oh, ini?” aku mengangkat kamera yang sedang kuotak-
atik. ”Gue pusing banget abis RKK tadi, Rul. Gue harus
motret malam ini juga, kalau nggak bisa gila gue.”
Ruly tertawa. ”Se-stres itu, ya?”
”Dan selapar itu juga,” tawaku. ”Elo udah makan? Temenin
gue makan yuk.”
Kami akhirnya terdampar di Kopi Tiam Oey, satu-satunya
tempat makan decent yang masih buka selarut ini. Ruly nik-
44
mat melahap nasi goreng kambingnya, dan aku mengabaikan
sepiring mi kepiting Pontianak di depanku. Entah kenapa
waktu itu yang kuperlukan bukan membunuh rasa lapar, tapi
mengosongkan pikiran ini dengan memotret lampu-lampu
Jalan Sabang di waktu malam.
”Katanya laper,” celetuknya.
Aku mengangkat mata dari viewfinder kameraku. ”Lampu-
lampu di luar sana lucu deh, Rul, jadi semangat motret gue.”
”Makan dulu kali, Key, masuk angin entar. Atau gue embat
juga nih mi elo.”
Aku tertawa. ”Lapar atau doyan lo?”
”Dua-duanya,” tawanya.
Ruly was a sight for sore eyes. But I’m not here to tell you
how I fell in love with the most strikingly handsome man I’ve
ever met. Believe me, you’ll learn later bahwa bukan hal itu
yang membuatku seperti tersihir olehnya.
Isi-antologi.indd 44 7/29/2011 2:15:15 PM