Page 47 - PDF Compressor
P. 47
”Emang motret bisa menghilangkan stres, ya?” ujarnya keti-
ka aku mulai menikmati mi-ku. ”Gue nggak pernah mengerti
hal-hal seni kayak fotografi atau lukisan. Gue cuma ngerti
nendang bola sama bawa stik.”
”Motret itu seru, lagi,” kataku antusias. ”Elo tahu nggak
kapan gue pertama kali megang kamera? Umur sepuluh ta-
hun, motret nyokap gue yang lagi tidur, nyolong kamera Bo-
kap.”
Ruly menggeleng-gelengkan kepala sambil berdecak. ”Dari
kecil elo itu udah bandel, ya.”
”Kok bandel sih? Itu namanya kreatif, tahu,” aku membela
diri, tertawa kecil. ”Foto itu sampai sekarang masih ada di
rumah gue, Rul, bokap gue nyuci dan gedein segede-gedenya,
dibingkai dan dipajang di ruang keluarga. My very first
photography exhibition,” kataku bangga. 45
Ruly was never a conversationalist. Setiap kami makan atau
nongkrong rame-rame dengan Harris, Denise, atau teman-te-
man yang lain, dia biasanya cuma jadi pendengar yang pasif
namun atentif, berkomentar seadanya, dan tetap ikut tertawa
jika ada yang lucu, but that’s it.
Dan untuk menutupi awkward silence yang selalu muncul
jika aku sedang berdua saja dengannya—awkward silence yang
biasanya dengan mudah kututupi dengan ”cara ampuh” jika
dengan laki-laki lain (you know what I mean)—aku berceloteh
tentang apa pun sementara dia mengambil peran yang selalu
dinikmatinya: mendengarkan. Malam itu, aku dengan sema-
ngatnya bercerita tentang my number two passion in life:
photography (him being the first). Tentang bagaimana aku dulu
terpana saat melihat hasil karya Annie Liebovitz di Vanity
Fair. Dan ketika aku mengurungkan niat untuk borong-mem-
borong di Pacific Place saat menemukan pameran WorldPress
Isi-antologi.indd 45 7/29/2011 2:15:15 PM