Page 103 - 9 dari Nadira
P. 103
'[ asbih
Setelah upacara mingguan itu selesai, Nadira kembali
ke realita, ke atas taksi yang menantinya, lalu berangkat
mengarungi lautan kemacetan Jakarta.
***
Tara menghela nafas.
Lagi-lagi dia melongok ke bawah mejakerjayangpenuh
dengan buku-buku, beberapa boks. dan seorang perempuan
muda yang bergelung seperti seekor kucing kedinginan.
Nadira Suwandi.
Tara tahu, Nadira ingin menenggelamkan seluruh
kesedihannya ke kolong meja itu. D i a hanya akan keluar
jika terpaksa. Terpaksa untuk bekerja. Atau terpaksa me
lawan matahari. Mata Nadira masih terpejam. Tetapi, Tara
tahu Nadira bukan sedang terlelap. Bibirnya komat-kamit
mengucapkan entah apa. Arloji dinding majalah T e ra
menunjukkan pukul delapan pagi. Dan Nadira masih me
ngenakan baju yang sama seperti kemarin.
"Mas Tara ... ; S a timin berbisik sembari menggenggam
tongkat pel, "saya ndakberani mbangunin Mbak Dira .. ."
Tara mengangguk dan memberi isyarat agar S a timin
mengepel di bagian lain sa j a dulu. Satimin mengangguk
patuh. Tara memegang bahu Nadira dengan lembut agar
Nadira tak terkejut. Perlahan-lahan Nadira membuka
matanya. Begitu dia menyadarii pemilik tangan yang mem
bangunkannya, Nadira s e g e r a duduk tegak dan menggosok
gosok matanya. D i a keluar dari kolong meja; menyambar
handuk dari salah satu lacinya.
"Selamat pagi, Mas. .. Saya ke kamar mandi dulu .. .''
"Saya tunggu di ruang rapat lantai delapan ya, D i r .. ."
"Siap!"
H anya 30 men it kemudian, Nadirasudah hadir di ruang
rapat, lebih segar dan sudah berganti baju. Tara tersenyum,
96