Page 98 - 9 dari Nadira
P. 98
Jv1elukis. bcmgit
agar dia jangan ikut mati bersama I bu. Ayah berhak hidup
dan menikmati hidup ... seharusnya dia menerima tawaran
posisi baru itu, dan kita semua bisa hidup tenang .. ."
Nadira meletakkan kop telepon itu. Mati.
D i luar. suara ketak-ketok bakiak ayahnya mengisi ke
heningan. Lantasjam dinding m i l i k kakeknya kembali me
nyentaknya. Pukul tiga pagi.
***
"Nak Dira ... Kok kurus b·etul kamu. Baru minggu ke
marin kemari, kok, kayaknya daging kamu susut .. ."
Nadira tersenyum, "Dua bungkus lasagna, Bu."
Bu Murni mengangguk dan mencomot dua potong
lasagna dari oven.
"Kebetulan masih panas. Ayah baik-baik saja?"
"Seperti biasa. Kangen masakan Bu Murni."
Bu Murni, ibu yang mak.mur dengan daging dan ke
ringat itu, semakin lebar senyumnya. "I ni I bu tambahkan kue
lumpur surga dua bu ah. Ndak usah bayar. I bu ngerti, ayah mu
suka betul sama kue lumpur surga ... ; katanya tertawa.
"Alaa, Bu. Jangan begitu .. ." Nadira buru-buru me
ngorek-ngorek dompetnya dan mengeluarkan selembar se
puluh ribu rupiah.
"Sudah-sudah ... Bayar lasagna saja. Nih, kembalinya.
Salam buat ayahmu, ya. Aduh, lbu iri. Ayahmu sudah bisa
ongkang-ongkang menikmati pensiun ya."
Ayah bukan pensiun, ucap Nadiradalam hatinyasambil
menuju bajaj yang menantinya. Ayah bukan pensiun.
Jam setengah tujuh. Seperti biasa, ayahnya ditemani
dengung rombongan nyamuk dan suara "good evening"
yang fasih dari pembaca berita televisi. Nadira melangkah
perlahan dan berhenti tepat di belakang kursi ayahnya. Ada
pemberitaan tentang acara seirah-terima jabatan pimpinan
90