Page 149 - 9 dari Nadira
P. 149

Ciuman 'f erpanjang





                wajah  majikannya  sudah  mencapai  titik  puncak.  Artinya,
                Tara harus pergi  meninggalkan  Satimin yang kelihatannya
                ikut  berbahagia menyambut  perubahan  yang terjadi  pada

                Nadir a.
                      H idup Nadira memang tengah berwarna mer ah jambu.
                Kolong  meja  kerjanya  kini  bersih,  karena  Pak  Satimin

                dengan  mudah bisa menyapu dan mengepel. Nadira sudah
                lama tak  bergelung di  sana.  H idup  Nadira menjadi  mer ah
                jambu, karena dia kini tidur teratur dan bangun dari tempat

                tidur  yang  nyaman  dengan  dua  buah  bantal  dan  satu
                guling yang setia memberinya kehangatan.  D             i a   mulai  rajin
                membuat sarapan dan hidup sehat seperti  para perempuan

                "normal" lainnya yang mandi  dan  berdandan,  mengenakan
                pemoles bibir  dan  sedikit bedak  dan  minyak wangi  segar;
                yang  mengenakan  jins dan  kemeja terbaiknya  setiap  hari,

                lalu  melangkah  di  udara.  Tara  mengetahui  itu;  seluruh
                kantor mengetahui itu. Nadira kini tak lagi menyeret-nyeret
                kakinya seperti  seorang  narapidana yang  kakinya ditahan

                sebuah bola besi.  Kaki Nadira kini menjadi ringan, seringan
                kapas,  seringan  hatinya,  setelah  empat  tahun  dia  merasa
                ditindih  sebuah  batu  yang  membuat  ia  tak  mampu  ber­
                nafas.

                      Tara bisa melihat itu. Seluruh isi kantor bisa melihat itu.
                      I tu I ah sebabnya Tara tak ingin mempersoalkan hubung­
                an  Nadira  dengan  lelaki  yang  nampaknya  mampu  meng­

                angkat  batu  yang  selama  bertahun-tahun  menindih  hati
                Nadir a.

                      "Saya minta cuti, Mas  .. ."
                      Akhirnya, akhirnya d i a   minta cuti.  Se     t e l a h   bertahun­
                tahun aku menyuruhnya untuk ruti sejak kematian ibunya,
                baru se k a rang  d i a   merasa  butuh  untuk  ruti  dari  kantor

                dan meningga/kan kolong mejanya yang s u d a h   busuk itu.
                Nadira menyodorkan  dua halaman f o r mulir warna kuning,


                                                   142
   144   145   146   147   148   149   150   151   152   153   154