Page 13 - e-modul bab 1
P. 13
dan Amon; dan orang Aegea masih mempunyai Tuhan-Tuhan lain.
Agama Israil pada masa itu dirusak oleh kepercayaan animisme,
penyembahan nenek moyang, sihir, dan kepercayaan terhadap
Tuhan-Tuhan antropomorfis (jelmaan).
Dalam situasi krisis sosial dan keagamaan itu, lahirlah seorang
bayi Israil di Mesir yang diberi nama Musa. Bayi yang selamat dari
pembunuhan yang diperintahkan oleh Fir‟aun (Ramses II, berkuasa
sekitar 1279 - 1212 SM) itu kelak menjadi pemimpin besar Yahudi
yang berjuang membebaskan mereka dari kekejaman Fir‟aun. Tokoh
yang hidup pada abad ke-13 SM itu adalah pahlawan pembebasan
dan bapak yang sebenarnya dari orang Yahudi. Bila inspirasi
monoteistik asli datang dari Nabi Ibrahim AS, maka Nabi Musa AS
adalah orang yang membuka, menetapkan, dan mengukuhkan
pandangan hidup keagamaan itu.
Nabi Musa AS tidak hanya memimpin pembebasan Israil keluar
dari perbudakan Fir‟aun dan bangsa Mesir, tetapi ia juga membawa
mereka kepada perjanjian dengan Tuhan mereka, yaitu Yahweh di
Gurun Sinai. Di gurun itu, ia menerima Sepuluh Perintah (Ten
Commandments) dari Tuhan. Perintah pertama dan kedua
menetapkan prinsip monoteisme dan menentang penyembahan
berhala. Kedua perintah itu berbunyi sebagai berikut: “Janganlah
ada Tuhan-Tuhan lain di hadapan-Ku” dan “Janganlah membuat
bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit atas,
atau yang ada di bumi bawah, atau yang ada di dalam air.
Janganlah sujud menyembah kepadanya, karena Aku, Tuhanmu
adalah Tuhan yang pencemburu” (Keluaran 20:3-5).
Doktrin paling esensial dan sistem kepercayaan yang dianut
dan diperjuangkan Nabi Musa AS adalah monoteisme. Ia melan-
jutkan tradisi monoteistik yang diajarkan Nabi Ibrahim AS. Baginya,
Tuhan adalah satu, tidak ada Tuhan selain Dia. Namun sepeninggal
Musa AS, takhayul dan pemujaan berhala semakin meningkat dari
tahun ke tahun, sehingga penyembahan Yahweh dirusak oleh
penyembahan Baal-Baal Funisia dan Kanaan, termasuk di dalamnya
konsep „Uzair sebagai anak Allah. Karenanya sejak abad ke-9 SM,
agama Yahudi sangat membutuhkan pembaruan keagamaan dari
dalam. Fenomena sosial-keagamaan ini direkam Al-Qur‟an melalui
ayat berikut ini:
ِ
ِ
ا ا ز د ْ ا َ و
َ
ٌَُْ
ُ َُ
ُ ْ
َ
“Orang-orang Yahudi berkata: „Uzair itu putera Allah... ” (QS. al-Taubah:30).
12