Page 134 - dear-dylan
P. 134

“Lo nggak tahu... kalau kita lagi digosipin?”
                    Regina terlihat kaget luar biasa. “Hah? Yang bener? Kok bisa? Gue nggak tahu...”
                    “Yah...  mungkin  lo  nggak  tahu  karena  beritanya  beredar  waktu  lo  di  Singapura.  Ada
               wartawan yang ngambil gambar lo waktu cipika-cipiki gue di Batam kemarin, dan pasang
               gosip ngawur di infotainment...”
                    “Oh  my  God!”  Regina  menutup  mulutnya  dengan  tangan,  lalu  menggeleng.  “Terus...
               terus gimana? Cewek lo... cewek lo gimana? Lo udah jelasin ke dia, kan?”
                    Gue menggeleng, pahit. “Dia mutusin gue.”
                    Regina  melongo.  Baru  kali  ini  gue  melihat  dia  bengong  begitu.  “Bener,  Lan?  Ya
               ampun... gue jadi merasa nggak enak... Gue...”
                    “Nggak  papa,  bukan  salah  lo  kok.  Mungkin  Alice  memang  sudah  kecewa  dan  marah
               sama gue dari sebelum gosip itu ada, yang kemarin itu puncaknya aja...”
                    Regina meletakkan majalahnya di sofa, dan mendekati gue lagi. “Lan, I’m so sorry... gue
               nggak bermaksud...”
                    “Nggak papa... bukan salah lo, Gin... Gue juga nggak ngerti kenapa akhir-akhir ini gue
               bisa  dikorek  habis  sama  infotainment...  Setelah  ini  juga  pasti  infotainment  penuh  berita
               tentang Skillful lagi...”
                    Memikirkan kemungkinan itu, kepala gue berdenyut hebat lagi. Gue rasa gue memang
               sebaiknya istirahat. Mungkin nggak menggelar konser sementara akan ada bagusnya untuk
               gue.

                                                          * * *

               “Ma?”  Gue  melongok  ke  dalam  kamar  Mama  dengan  perasaan  khawatir.  Gue  baru  saja
               sampai  dari  bandara,  dan  mendapati  rumah  dalam  keadaan  sepi.  Nggak  ada  mobil  Papa,
               mobil Tora, atau mobil para nantulang gue yang beberapa bulan ini dengan setia ngejogrok di
               depan rumah. Rumah gue senyap, nggak ada suara sedikit pun. Saking putus asanya, dalam
               hati  gue  berharap  akan  mendengar  suara  Nantulang  Uci  dan  Nantulang  Maria
               memperdebatkan  model  sanggul  macam  apa  yang  akan  mereka  gunakan  saat  pesta  nanti.
               Tapi nggak ada suara sedikit pun. Ke mana semua orang?
                    “Dylan!”  pekik  seseorang.  Gue  sontak  menoleh,  dan  melihat  Mama  menghambur
               memeluk gue.
                    “Mama lihat berita... konsermu rusuh lagi...”
                    Gue terdiam. Mendengar Mama mengucapkan hal itu lagi membuat gue merasa semakin
               yakin karier gue sudah berantakan.
                    “Kamu nggak kenapa-napa, kan? Kamu nggak papa?” Mama memegang kedua pipi gue,
               seolah berusaha memastikan gue nggak lecet sedikit pun.
                    “Aku baik-baik aja, Ma.” Bohong. Memang secara fisik gue nggak kenapa-napa, cuma
               masih agak pusing dan meriang karena demam kemarin, tapi di dalam diri gue, semuanya
               berantakan...
                    “Mama khawatir sekali...” Mama memeluk gue lagi, tapi kali ini sambil menangis.
                    Gue menyumpah-nyumpah dalam hati. Kenapa gue sering banget membuat orang-orang
               yang  gue  sayangi  khawatir?  Kenapa  gue  lebih  banyak  menyusahkan  daripada  membuat
               mereka bahagia? Kenapa gue nggak bisa seperti Tora, nggak pernah bikin Mama menangis?
   129   130   131   132   133   134   135   136   137   138   139