Page 136 - dear-dylan
P. 136
Nggak akan ada lagi Tora yang meledek gue saat pulang ke rumah dengan meneriakkan
“Ma... ada artis datang nih!”
Nggak akan ada lagi Tora yang bisa gue ajak main PS sampai tengah malam...
Gue menggeleng. Nggak, Tora akan selalu tetap ada, hanya nggak di rumah ini aja. Gue
juga bisa menginap di rumahnya nanti kalau gue mau. Seharusnya gue bangga, abang gue
akhirnya menemukan tulang rusuknya, dan bisa memulai hidup baru.
Tapi selama ini gue nggak pernah membayangkan tinggal terpisah dari Tora... Dua puluh
lima tahun dalam hidup gue, gue habiskan bersama dia, tapi sekarang mendadak dia akan
punya kehidupan sendiri?
“Sedih, ya?” tanya Mama saat melihat ekspresi gue. Gue mengangguk pelan. Gue baru
sadar, hampir semua yang gue sayangi sudah pergi meninggalkan gue. Alice, karier gue,
jadwal gue bersama Skillful, Tora... entah apa atau siapa lagi nanti.
“Mama lebih lagi, Dylan. Sekarang Tora, beberapa tahun lagi kamu. Nanti hanya akan
tinggal Mama dan Papa saja di sini.”
“Aku nggak akan ke mana-mana, Ma...”
Gue mengecup pipi Mama, merasakan kulit wajah ibu yang melahirkan dan
membesarkan gue menempel di pipi. Gue sama sekali nggak punya niat untuk merit
sekarang. Mau sama siapa, coba? Setelah Alice mutusin gue, rasanya gue nggak punya niat
untuk cari cewek lagi.
Nggak. Nggak sekarang, at least. Hidup gue masih berantakan... karier gue masih
berantakan... hati gue masih berantakan...
* * *
Gue mempercepat langkah karena melihat Regina sudah duduk menunggu gue di dalam
Starbucks. Dia memandang ke luar jendela, mungkin sudah bete karena gue ngaret.
Yeah, sekali lagi gue harus mengambinghitamkan lalu lintas Jakarta yang semakin hari
semakin parah macetnya itu.
“Hai, Gin. Sori telat. Biasa, macet.” Gue duduk di kursi di depan Regina, yang
menyambut dengan senyum lebarnya.
Regina cantik banget siang ini. Dia pakai semacam, apa sih... kardigan dan dalaman
berwarna kuning cerah. Chic and fresh, as usual. Dan satu juga yang gue suka dari dia, make-
up nya selalu natural, nggak pernah menor kayak model-model lainnya. Mungkin karena dia
udah cantik dari sononya kali, jadi nggak perlu didempul segala macam.
“Nggak papa. Gue juga baru datang kok.” Regina menunjuk cangkir minumannya yang
masih mengepulkan uap panas, menunjukkan dia belum lama menunggu.
“Jadi... ada apa?” tanya gue. Kemarin malam Regina tiba-tiba menelepon HP gue, bilang
dapat nomor HP gue dari Asep, dan ngajak ketemuan. Karena gue sedang jadi pengangguran
yang mati gaya di rumah, gue oke-oke aja.
Dan gue juga nggak peduli kalau ada wartawan yang merekam gambar gue dengan
Regina di sini. Sekarang gue sudah sebodo amatlah sama wartawan. Mungkin mereka butuh
berita untuk infotainment mereka, ya sudahlah... Mungkin gue dan Alice putus juga ada
baiknya, karena gue sudah terlalu banyak menyakiti dia. Mungkin sudah saatnya Alice bebas
menikmati hidupnya lagi.