Page 139 - dear-dylan
P. 139

“Aduh, Lan, gue ngantuk nih! Banget! Tadi seharian gue presentasi ke klien, keliling dari
               Bintaro sampai Karawaci! Belum lagi sorenya nganter Vita ngecek contoh undangan, pegel
               semua badan gue!” Tora mengomel sambil ngulet-ngulet di ranjangnya.
                    Waduh, kasihan juga dia keliling Jakarta seharian gitu! Belum lagi harus ngurus tetek-
               bengek pernikahannya... tapi gue mau cerita sama siapa lagi kalau nggak sama Tora? Udik,
               Rey, Dovan, dan yang lainnya pasti bakal ngetawain gue kalau gue cerita masalah beginian di
               depan  mereka.  Bukannya  Tora  nggak  bakal  ngetawain  juga  sih  (gue  jamin,  dia  lah  yang
               ngakaknya bakal paling kenceng), tapi seenggaknya kan...  you know lah, dia kan abang gue.
               Gue ngerasa lebih enjoy aja kalau cerita ke dia.
                    “Ntar gue pijitin!” tawar gue spontan.
                    “Bener, ya?”
                    “Iya! Tapi dengerin cerita gue dulu!”
                    “Sip!”  Tora  duduk  di  atas  ranjangnya,  lalu  memandang  gue  dengan  tampang  serius.
               “Nah, silakan cerita.”
                    Siaul. Giliran ada iming-imingnya aja, baru dia mau dengerin!
                    “Ya itu tadi... gue jalan sama Regina, dan pas kita nonton ternyata dia nggak maksain
               nonton film komedi romantis.”
                    “Lho, bagus dong? Bukannya lo nggak demen nonton film begitu?”
                    “Justru itu! Baru kali ini ada cewek yang kayak dia, ngebolehin gue nonton film yang
               gue mau! Kalau Alice...”
                    “Lan, jangan bandingin sama Alice deh.”
                    Gue sontak menutup mulut, lalu menggigit bibir.
                    “Nggak baik banding-bandingin orang,” tambah Tora.
                    “Itu dia, Tor... gue juga bingung. Kenapa sih gue selalu kepikiran Alice terus? Apa-apa,
               Alice, apa-apa Alice. Capek gue sebenernya.”
                    “Ya,  lo  kan  dulu  juga  gitu  waktu  sama  Alice.  Apa-apa  Karin,  apa-apa  Karin,  nggak
               habis-habisnya lo bandingin mereka berdua.”
                    “Berarti, apa yang gue rasain wajar, kan?” Gaya bicara gue makin memelas, seolah gue
               kepingin membuktikan kalau gue nggak gila. Cerita sama Tora begini membuat gue merasa
               gue ini pasien dan Tora psikiaternya!
                    Kadang gue heran, dulu Tora kuliahnya marketing atau masalah kejiwaan sih?
                    “Tergantung. Dan gue kepingin tahu, sebenernya perasaan lo ke Regina gimana?”
                    Gue speechless. Jujur aja, gue juga nggak tahu harus jawab apa.
                    “Nggak tahu deh.”
                    “Ih, geblek nih anak!” Tora menonyor kepala gue, tapi gue sama sekali nggak berhasrat
               membalas.
                    “Yah, Gina itu enak diajak ngobrol, orangnya baik, pintar, nggak keganjenan pula. She’s
               nice. Padahal dulu, waktu awal kenal, gue sempat bete banget sama dia. Gue kira dia SKSD,
               keganjenan, tapi sekarang gue tahu dia nggak kayak gitu.”
                    “Makanya, jangan suka sok nilai orang kalau belum kenal!” Tora menceramahi gue. “Eh,
               tapi berarti lo seneng jalan bareng Regina, iya?”
                    “Ya.”
                    “Tapi di saat yang sama, lo nggak bisa ngelupain Alice juga?”
   134   135   136   137   138   139   140   141   142   143   144