Page 83 - dear-dylan
P. 83
“Lo mau main sandiwara lagi? Bikin heboh biar bisa muncul di infotainment lagi, kan?”
tanyanya setengah menantang.
Hell, dia cuma asal tebak atau memang benar-benar tau skenario Pak Leo?! Gue
berusaha menggigit lidah kuat-kuat. Sekarang bukan saatnya meladeni omongan anak kecil
manja dan tukang ngambek ini! Gue lebih baik memikirkan cara untuk membantu Ernest.
“Kenapa? Lo takut mukul gue? Takut image lo yang sok baik itu rusak? Hei, lo lupa
kalau image lo sudah hancur gara-gara kasus pemukulan kemarin?”
Gue tahu, sekarang seluruh isi lobi memandangi gue dan Hugo. Bahkan Ernest pun
perhatiannya teralih dari kegelisahannya untuk segera pulang ke Bandung.
“Asal lo tahu,” kata gue sambil menahan marah, “sebobrok apa pun image gue,
seenggaknya gue nggak pernah ngerasai busuknya sel penjara seperti narapidana bejat
macam lo!”
Hugo mengernyit, dan gue melihat urat di pelipis kanannya berdenyut. Dia marah.
Tapi gue masih lebih marah.
“Oh... merasa hebat karena jadi closing semalam, jadi sekarang mau nantang? Lo kira lo
lebih hebat dari gue?” Hugo maju beberapa langkah. Bang Budy sudah berancang-ancang
untuk menghalangi Hugo semakin mendekati gue, tapi gue memberi dia isyarat untuk diam di
tempat.
“Mungkin nggak lebih hebat, tapi yang jelas, gue lebih bermoral.” Gue tersenyum sinis.
“Gue punya malu, nggak kayak lo yang hampir perkosa cewek di dalam lift!”
Hugo melotot, dan gue mendengar suara orang-orang yang menahan napas di sekeliling
gue dan Hugo. Ini nyaris sama persis ketika gue meng-TKO Yopie di MTV Awards. Hanya
kurang wartawan.
Dan VJ Daniel.
“Paling nggak, selera gue akan cewek bisa diterima akal sehat.” Hugo tertawa. Tawanya
bercampur dengan dengusan meremehkan. “Coba lihat cewek lo, apa bagusnya? Berantakan.
Nggak keruan.”
Kurang beberapa senti lagi tinju gue menghantam wajah Hugo brengsek itu, tapi ternyata
tinju gue terhenti di telapak tanagn Bang Budy.
“Cukup, Dylan!” desisnya marah. “Kamu nggak perlu masuk infotainment karena
memukul satu vokalis band lain lagi!”
Gue mengertakkan gigi, tapi menarik tangan gue dari tangan Bang Budy dengan gusar.
Hugo kelihatan sedikit kecewa gue nggak jadi menonjok dia. Mungkin dia sudah menyusun
“serangan balik” untuk gue. Wajahnya sudah seperti vampir haus darah.
“Itu mobilnya datang!” seru Dovan, dan gue melihat mobil panitia yang akan membawa
kami ke banda berhenti di depan pintu lobi. Ernest dengan tergesa mengangkat tasnya dari
lantai, tapi gue lah yang lebih dahulu mencapai pintu mobil dan masuk ke sana.
Sepanjang perjalanan ke airport, gue nggak mengucapkan apa pun lagi. Semua omongan
Hugo masih bergaung di telinga gue. Berani-beraninya dia menghina Alice! Kalau gue
ketemu dia lagi, akan gue bikin dia babak belur!
“Udah, Lan, nggak usah pikirin. Hugo ngomong gitu untuk mancing lo, karena dia nggak
terima eXisT kalah dari Skillful,” kata Dovan sambil menepuk bahu gue pelan, tapi gue
mengabaikannya.