Page 92 - dear-dylan
P. 92
Mama terdiam, tapi beberapa detik kemudian aku merasakan tangannya membelai lembut
rambutku.
“Mungkin Dylan masih shock. Dia pasti butuh waktu untuk berpikir dulu. Mama yakin, nanti
juga dia bakal cerita sama kamu.”
Selalu begitu. Dylan butuh waktu berpikir. Dylan butuh waktu sendiri. Bagaimana dengan
aku? Aku juga butuh penjelasan. Aku juga butuh ditenangkan...
“Hei, kamu tahu nggak sih, dulu setelah setahun menikah, Mama dan Daddy bertengkar
hebat? Sampai banting-banting barang segala?”
Heh, kenapa Mama tiba-tiba ngomong begitu?
“Nggak... aku nggak tau.”
“Itu disebut „Pertengkaran Besar Pertama‟. Biasanya memang terjadi setahun setelah
pernikahan. Nah... mungkin kamu sama Dylan bakal mengalami itu sekarang.”
Aku bengong, sebelum akhirnya mencubit Mama.
“Adudududuh... kok Mama dicubit sih?!” Mama meringis kesakitan.
“Habisnya Mama ngaco sih! Masa Mama bilang kalau aku dan Dylan mengalami
„Pertengkaran Besar Pertama‟?! Yang bener aja, Ma! Aku sama Dylan tuh cuma pacaran,
bukannya nikah!”
“Hmm teori Mama aja sih, tapi „Pertengkaran Besar Pertama‟ seharusnya nggak cuma terjadi
sama pasangan menikah aja, tapi sama pasangan pacaran juga. Buktinya, kamu selama ini nggak
pernah bertengkar sama Dylan. Yahh... paling banter ribut-ribut kecil lah. Tapi sekarang kamu
merasa sebeeell banget sama dia, merasa marah sama dia, itu kan cikal bakal „Pertengkaran Besar
Pertama‟, hehe...”
Mama cengengesan, tapi langsung diam begitu aku menggelitiki pinggangnya. mama
memang paling suka usil! Gara-gara omongan Mama tadi, aku jadi nggak bisa meneruskan aksi
cengengku deh!
* * *
“Lo lihat sendiri kan, Grace, gue makin lama makin merasa nggak kenal Dylan. Dia seperti...
asing. Bukan Dylan yang selama ini gue kenal...”
Grace mendengus, lalu meletakkan kembali botol kondisioner rambut ke rak yang ada di
hadapannya. “Kenapa sih nggak ada kondisioner yang bisa membuat rambut rewel jadi nurut?”
Hah, ngomong apa sih dia?!
“Yang ini untuk rambut rontok... ini untuk rambut bercabang... rambut kering... rambut
berjerawat... eh, keliru! Ini obat jerawat deng!”
Habis kesabaran, aku menggetok kepala Grace dengan kepalan tanganku.
“Aww! Apaan sih? Sakit, tau!” Grace mengusap-usap kepalanya.
“Lo sih, orang lagi serius ngajak ngobrol, malah nyerocos aneh-aneh! Pakai ngigo rambut
berjerawat segala! Yang bener aja!”
“Deuu... yang lagi sewot!” Grace mengibaskan atngannya dan meneliti isi rak lagi. Kami
memang sedang berada di salah satu toko di PIM yang menyediakan produk-produk health &
beauty care. Tadinya aku nggak mau ke sini karena mood dan penampilanku sedang ancur-ancurnya,
tapi Grace, yang tahu aku nggak masuk sekolah hari ini karena bad mood sama Dylan dan
bukannya sakit, datang ke rumah dan memaksaku memberikan referensi kondisioner rambut
yang bagus di toko ini.