Page 197 - Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas X
P. 197
Dalam Lontar Brahmokya Widhisastra lembaran 6a menyebutkan larangan-
larangan dan sanksi-sanksi Varna Kṣatriya sebagai berikut: Apabila ada Kṣatriya yang
berbuat tidak benar, tidak baik, berbuat di luar sifat Dwijati, di luar sifat Kṣatriya,
salah bahasa, salah kerja dan lain-lainnya mereka akan menjadi Sudra. Walaupun
mereka kaya akan tetapi tidak memiliki belas kasihan itu disebut: Bagna Brata.
Dalam Buku Tabir Mahabrata oleh Resi Wahono dijelaskan kewajiban Ksatriya
yakni menjaga ketentraman dunia untuk kepentingan masyarakat, dan sama
sekali terlepas dari kepentingan pribadi. Seseorang barulah dapat disebut bersikap
Ksatriya bila telah dapat mengatasi segala keadaan dengan baik dan tak terikat
pada kepentingan pribadi, bebas melaksanakan kewajibannya dengan tidak gentar
sedikitpun menghadapi segala resiko meskipun harus mengorbankan jiwa raganya.
Ini bukan berarti seorang Kṣatriya tidak punya cita-cita hidup untuk diri pribadinya.
Bagi seorang Ksatriya kemuliaan dan kenikmatan untuk diri sendiri, sama sekali tidak
termasuk dalam hitungan. Yang diutamakan dalam cita-citanya adalah kebahagiaan
dan keselamatan buat orang banyak dan justru karena malakukan kewajiban itulah
Ksatriya akan memperoleh kesempurnaan hidup.
Dari sumber lontar Brahmokta Widhisastra dan Widhi Papincatan kita memperoleh
gambaran bahwa jabatan Kṣatriya itu tidak berlaku permanen karena dapat berubah
atau turun kedudukannya (panten) kalau tidak dapat melakukan kewajiban-kewajiban
yang telah ditentukan oleh ajaran agama. Dalam Tabir Mahabrata kita memperoleh
gambaran bahwa seseorang Kṣatriya tidak boleh ragu-ragu dalam mengambil sikap
terutama ketika melakukan tugas dan kewajibannya. Seorang Ksatriya yang taat
melakukan kewajiban untuk membela kebenaran akan mendapat pahala utama. Hal
ini diuraikan juga dalam kekawin Nitisastra sargah IV bait 2 sebagai berikut:
Sang śurāmênanging renānggana,
mamukti suka wibhawa bhoga wiryawān.
Sang śūrāpêjahing ranangga mangusir surapada
siniwing surāpsari. Yan bhiru n
mawêdi ng ranānggana pêjah yama-bala manikêp mamidana. Yan tan mati
tininda ringparajanenirang-irang inaňang sinorakên.
Terjemahan:
Sang Ksatriya menang dalam peperangan menikmati kesenangan,
kewibawaan, makan enak dan keagungan. Sang Kṣatriya bila mati dalam
peperangan, rohnya menuju swargaloka, dielu-elukan oleh para bidadari.
Kalau pengecut, lari dalam peperangan dan mati ditangkap dan dihukum,
rohnya diadili oleh Bhatara Yama. Kalau tidak mati, dicerca, diolok-olok, dan
ditawan oleh musuh.
Di samping itu Bhagavadgītā II, 31 memberikan penjelasan yang lebih jelas tentang
letak kesempurnaan seorang Kṣatriya dalam melakukan tugas dan kewajibannya.
Sloka tersebut berbunyi sebagai berikut:
190 | Kelas X SMA/SMK

