Page 232 - hujan
P. 232
sentimeter. Tapi itu semua tidak ada apa-apanya dibanding mendengar
informasi bahwa manusia akan punah oleh musim panas ekstrem enam puluh
sampai delapan puluh derajat Celsius.
” Itu berarti mereka telah memilih calon penumpang empat kapal itu?” Maryam
memastikan.
Lail mengangguk lagi.
” Dan kita... kita tidak dihubungi. Apakah berarti kita tidak termasuk
penumpang kapal?”
Lail tersenyum getir. ” Kamu mau naik kapal itu, Maryam?”
” Eh...” Maryam terdiam. ”Aku hanya bertanya. Siapa pun pasti akan bertanya
soal itu jika mendengar ceritamu. Aku tahu, mesin itu tidak akan pernah
memilihku.”
Lail mengangguk. ” Penumpangnya telah ditentukan. Kita tidak termasuk. Tapi
setidaknya kita tahu lebih awal dibanding penduduk lainnya. Mereka baru akan
mengumumkannya empat minggu lagi, persis saat kapal-kapal itu berangkat.”
Maryam mengembuskan napas. ” Lantas bagaimana dengan rencana-rencana
besar kita? Bekerja di rumah sakit? Menyewa apartemen?”
” Entahlah,” Lail menjawab pendek.
Kamar itu lengang lagi.
”Aku sepertinya butuh tidur lebih cepat, Lail. R ambut kriboku akan
mengembang tidak terkendali kalau aku semakin me mikir kan ceritamu,”
Maryam akhirnya bicara.
Lail tersenyum. Maryam tidak pernah kehilangan selera hu mor dalam situasi
apa pun.
***
Saat itu, baru segelintir orang yang tahu.
Masalahnya, tahu lebih awal dibanding orang lain tidak akan mengubah nasib
mereka. Maka Lail dan Maryam memutuskan menjalani aktivitas sehari-hari
seperti biasa. Mereka pindah ke apartemen baru seminggu kemudian. Tidak
besar, tapi memadai untuk mereka berdua. Mereka juga telah resmi diterima di